LOCUSONLINE, JAKARTA — Di balik gemerlap pesta pernikahan dua dinasti elite—anak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan putri Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto—tersimpan tragedi yang menyesakkan: tiga nyawa rakyat jelata melayang. Dua warga sipil dan satu anggota Polri menjadi korban dalam hajatan yang dibungkus jargon “pesta rakyat”.
Sementara publik menuntut akuntabilitas, aparat terkesan bermain aman di bayang-bayang pangkat dan kekuasaan. Pernikahan mewah di Pendopo Kabupaten Garut itu menelan korban: Vania Aprilia (8), Dewi Jubaeda (61), dan Bripka Cecep Saeful Bahri (39). Bukan hanya tewas, 26 orang lainnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena kericuhan yang belum terjelaskan.
Melansir berita Tempo. Alih-alih empati, jawaban yang diterima publik dari kalangan pejabat justru sinis dan mengandung amarah. Saat dimintai keterangan oleh jurnalis Tempo, Irjen Karyoto memilih membentak ketimbang menjelaskan.
“Kamu tahu aturan enggak?” bentaknya, sebelum ajudan-ajudannya menutup akses media dan Karyoto melenggang pergi dengan mobil golf, seperti tak ada darah yang baru saja mengering di pesta anaknya.
Kendati telah ada pengakuan dari Putri Karlina—anak Irjen Karyoto sekaligus mempelai perempuan—yang menyatakan siap diperiksa, namun pernyataan itu berakhir klise:
“Biarkan itu jadi tugas kepolisian. Kami bukan yang menentukan siapa yang salah.”
Sebuah pernyataan normatif yang biasa dilontarkan mereka yang tak benar-benar ingin disentuh hukum.
Azmi Syahputra, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, menyebut bahwa penyelenggara bisa dikenai Pasal 359 KUHP—tentang kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Namun lagi-lagi, apakah hukum punya keberanian melompati tembok-tembok kekuasaan?

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”