LOCUSONLINE, GARUT — Seorang siswa SMAN 6 Garut memutuskan untuk pergi lebih dulu—bukan untuk ujian masuk perguruan tinggi, tapi meninggalkan hidupnya sendiri. Ironisnya, sekolah yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu, justru diduga menjadi ladang perundungan yang mengikis harapan hingga ke akar jiwa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun turun tangan, setelah kematian tragis ini mengundang kegaduhan di media sosial. Bukan karena pihak sekolah bersuara duluan, tapi karena warganet lebih dulu mengungkapkan kesedihan dan kemarahan. Rupanya, nyawa remaja baru bisa dipedulikan setelah viral.
“Kami menemukan indikasi kuat bahwa korban mengalami perundungan. Bahkan beberapa temannya juga harus diamankan ke rumah aman karena trauma mendalam,” ujar Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, Rabu (23/7/2025), dalam pernyataan yang menyentil keheningan panjang institusi pendidikan yang semestinya bertanggung jawab.
Menurut KPAI, praktik bullying di SMAN 6 bukan cerita satu babak. Bukan hanya menimpa korban yang kini sudah diam selamanya, tetapi juga menyelimuti teman-teman sekelasnya yang diam-diam menyimpan luka. Beberapa bahkan terpaksa ditarik dari lingkungan sekolah dan dibawa ke tempat pemulihan trauma. Ironi? Ini lebih dari itu. Ini potret gelap pendidikan kita yang lebih sibuk mencetak nilai daripada menjaga nilai kemanusiaan.
Baca Juga : Gubernur Dedi Sekolah tak Lagi Sekadar Tempat Belajar, Ia Kini Berubah Jadi Miniatur Barak Militer
Ketika Guru PAUD di Garut Diberi Tugas Menyelamatkan Bangsa dari Stunting
Sementara itu, Kepolisian Resor Garut sudah melakukan olah TKP. Hasilnya? Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik. Kesimpulan awal: bunuh diri. Cepat dan efisien, meski tidak menjawab mengapa seorang anak remaja merasa kematian lebih menjanjikan ketimbang bangku sekolah.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”