“Anak-anak dan masyarakat bukan sekadar angka atau kursi kosong yang bisa diganti. Tanpa pendekatan partisipatif dan pemetaan sosial budaya, niat mulia pun bisa jadi sia-sia”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Delapan puluh tahun merdeka, negeri ini masih gemar menggelar program “dari rakyat, untuk rakyat” yang terkadang lupa satu langkah penting: bertanya pada rakyat. Terbaru, ratusan siswa memilih angkat kaki dari Sekolah Rakyat program berasrama yang niatnya mulia, tapi nyatanya membuat sebagian siswa merasa seperti tamu di rumah orang.
Pakar Sosiologi Pedesaan IPB University, Prof. Lala M Kolopaking, menilai fenomena ini bukan sekadar soal siswa “tidak betah”, melainkan alarm bahwa program pendidikan perlu disesuaikan dengan budaya lokal. “Kalau mau bantu, jangan lupa peta sosial budaya. Kalau tidak, programnya akan terasa seperti pakaian bagus yang ukurannya salah,” ujarnya, Selasa (12/8/2025).
Menurut Lala, pendekatan partisipatif sejak awal adalah kunci. Masyarakat harus menjadi subjek, bukan sekadar objek penerima manfaat. “Kalau siswanya jauh dari budaya lokal, apalagi diasramakan, wajar kalau mereka mengalami homesick. Adaptasi itu bukan cuma urusan kasur dan lemari, tapi juga soal hati,” tambahnya.
Data Kementerian Sosial mencatat, ada 115 siswa atau 1,4 persen dari total 9.705 siswa yang mengundurkan diri. Angka tertinggi berasal dari Jawa dan Sulawesi (masing-masing 35 siswa), disusul Sumatera (26 siswa), Kalimantan (10 siswa), Maluku (5 siswa), Bali dan Nusa Tenggara (4 siswa). Papua nihil kasus, mungkin karena jaraknya terlalu jauh untuk sekadar mundur.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”