“Di negeri ini, tiang bendera bisa ditegakkan kembali. Tapi suara kritis, kalau sudah patah, jarang diperbaiki.”
LOCUSONLINE, MATARAM – Di tengah panasnya siang Mataram, Jumat (16/10/2025), segenggam kertas surat permohonan Restorative Justice meluncur ke meja birokrasi Polda dan Kejati NTB. Jumlahnya 52 cukup banyak untuk membungkus seluruh tiang bendera yang dirusak saat demonstrasi 30 Agustus lalu, tapi entah cukup atau tidak untuk menggoyahkan dinginnya tembok penjara yang kini menahan empat anak muda.
Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB bersama para orang tua tahanan tampak lebih mirip rombongan ziarah ke keadilan daripada delegasi hukum. Mereka datang bukan untuk bernegosiasi tentang proyek, tapi untuk sekadar meminta agar anak-anak mereka bisa kembali sekolah dan bekerja, alih-alih menghafal nomor sel dan jadwal razia.
Mereka menyerahkan surat penangguhan dan permohonan penerapan Restorative Justice sebuah konsep keadilan yang kerap dielu-elukan dalam seminar, tapi sering menguap ketika bertemu meja penyidik.
Pagi harinya, Andre Safutra dari tim kuasa hukum datang menjenguk empat tahanan di Dittahti Polda NTB. Kunjungan berlangsung 45 menit cukup lama untuk memastikan mereka tidak berubah menjadi “tersangka versi poster pencarian,” dan cukup singkat untuk tidak mengganggu rutinitas batuk dan stres akibat rindu rumah.
Keempat tahanan telah menandatangani surat permohonan dengan penuh kesadaran mereka membaca isinya, bukan sekadar menekan sidik jari seperti pelaku kriminal di sinetron malam. “Mereka stres karena melihat orang tua mereka tertekan,” ujar Andre. Dalam kasus ini, beban psikologis rupanya tidak hanya monopoli pelaku, tapi juga penjamin.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”