“KPK boleh membongkar jaringnya, tapi di Ponorogo, kisahnya lebih mirip sinetron moral: cinta, kekuasaan, dan uang semuanya berputar di satu meja, sambil menunggu siapa yang akan tersandung lebih dulu.”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Di Ponorogo, aroma kopi sore di ruang kerja bupati rupanya tercampur bau uang tunai. Dalam operasi tangkap tangan pada Jumat, 7 November 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa korupsi ternyata bisa bersandar lembut di pundak keluarga dan teman dekat.
Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, kini duduk di kursi tersangka. Tapi dua perempuan di orbitnya adik ipar, Ninik Setyowati, dan teman dekat sang direktur rumah sakit, Indah Bekti Pertiwi justru duduk di kursi saksi, meski tangan mereka ikut merapikan amplop-amplop bernilai ratusan juta rupiah.
Keduanya, kata KPK, “hanya perantara.” Dalam kamus hukum, itu mungkin berarti pelengkap. Tapi dalam praktiknya, justru merekalah yang menyalakan mesin transaksinya.
“Oknum Bupati ini meminta kepada iparnya, NNK, untuk mewakili dia menerima uang,” kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, Senin (10/11). Bahasanya halus: ‘Tolong deh, wakili saya menerima uang’. Dalam sistem birokrasi yang lembek, kalimat sehalus itu bisa menggiring uang setengah miliar rupiah mengalir ke tangan kekuasaan.
Semua berawal dari ketakutan. Yunus Mahatma, Direktur RSUD Harjono Ponorogo, mendengar kabar jabatannya akan dicopot oleh sang bupati. Dari sana, uang mulai bicara lebih keras daripada kinerja. Ia menyetor ratusan juta rupiah kepada Sugiri dan Sekda Agus Pramono, dengan harapan sederhana: tetap menjabat.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














