BisnisNews

Dari Medan ke Singapura: Kisah Sukanto Tanoto, Sang Raja SDA dan Dinasti Bisnis Globalnya

rakyatdemokrasi
×

Dari Medan ke Singapura: Kisah Sukanto Tanoto, Sang Raja SDA dan Dinasti Bisnis Globalnya

Sebarkan artikel ini
Dari Medan ke Singapura. Kisah Sukanto Tanoto, Sang Raja SDA dan Dinasti Bisnis Globalnya locusonline featured image

[locusonline.co] Di sebuah toko kecil penyedia suku cadang di Medan pada akhir 1960-an, seorang remaja berusia 18 tahun bernama Sukanto Tanoto harus mengambil alih usaha keluarga. Ayahnya meninggal mendadak, dan sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara, tanggung jawab itu jatuh di pundaknya. Saat itu, tidak ada yang bisa membayangkan bahwa anak muda yang terpaksa putus sekolah ini akan menjelma menjadi salah satu taipan terkaya Indonesia, mengendalikan kerajaan bisnis sumber daya alam dengan aset mencapai US$35 miliar dan karyawan lebih dari 80.000 orang yang tersebar dari Indonesia hingga Brasil dan Kanada.

Lahir di Belawan, Medan, pada 25 Desember 1949, Sukanto Tanoto adalah prototipe pengusaha otodidak yang sukses. Kariernya berawal dari kesulitan: pendidikan formalnya terhenti karena sekolah Tionghoa ditutup oleh pemerintahan Orde Baru. Namun, dari awal yang sederhana itu, dia membangun Royal Golden Eagle (RGE), sebuah grup perusahaan global yang mengelola hutan, kebun kelapa sawit, pabrik serat, hingga sumber daya energi.

tempat.co

Lonjakan Awal: Dari Pipa Gas ke Kayu Lapis

Perjalanan bisnis Tanoto dimulai dengan melayani industri migas nasional. Perusahaannya memenangkan kontrak untuk membangun jaringan pipa gas, dan krisis minyak 1972 yang mendorong harga minyak dunia melambung justru memberinya keuntungan dan modal yang signifikan.

Visi bisnisnya yang tajam mulai terlihat pada 1973. Saat berkunjung ke Taiwan, dia menyadari pola bisnis yang merugikan Indonesia: negara mengekspor kayu gelondongan mentah ke Jepang dan Taiwan, yang kemudian diolah menjadi kayu lapis (plywood) dan diimpor kembali dengan harga tinggi. Tanoto melihat peluang besar untuk membangun pabrik pengolahan kayu sendiri di dalam negeri. Namun, di era Orde Baru, izin usaha seperti itu sering kali membutuhkan “restu” dari pihak-pihak tertentu. Dengan strategi dan hubungan yang dibangun, dia akhirnya berhasil mendirikan pabrik plywood pertama di Indonesia, yang bahkan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1975.

Ekspansi Kerajaan: Sawit, Bubur Kertas, dan Skandal

Dari kayu lapis, ekspansi berlanjut ke sektor-sektor yang menjadi tulang punggung kekayaannya hingga kini.

  • Kelapa Sawit (1979): Terinspirasi oleh kesuksesan Malaysia, Tanoto mendirikan Asian Agri, yang kelak menjadi salah satu pemain utama sawit nasional.
  • Pulp dan Kertas (1990-an): Melalui APRIL (Asia Pacific Resources International Holding Ltd.), dia membangun pabrik raksasa di Riau. Namun, sektor ini jugalah yang menyematkan citra kontroversial padanya. PT Inti Indorayon Utama (kini PT Toba Pulp Lestari), pabrik pulp yang didirikannya di pinggir Danau Toba pada 1989, menjadi sumber konflik panjang. Masyarakat setempat menuduh pabrik itu menyebabkan pencemaran air dan udara, deforestasi, serta memicu sengketa tanah. Konflik memuncak pada 1999 dengan bentrokan berdarah yang menewaskan enam orang, yang akhirnya membuat pabrik itu sempat ditutup.

Peta Jejak Bisnis dan Kontroversi Sukanto Tanoto

Sektor BisnisPerusahaan UtamaTahun Mulai/AkuisisiCatatan & Kontroversi
Awal UsahaPemasok Suku Cadang & Kontraktor Pipa1967Modal awal, melayani Pertamina.
Kayu & PlywoodRaja Garuda Mas (cikal bakal RGE)1973Pabrik plywood pertama di Indonesia.
Kelapa SawitAsian Agri, Apical1979Terlibat kasus penggelapan pajak (2013).
Pulp & KertasAPRIL, PT Toba Pulp Lestari (TPL)1983 (TPL), 1994 (APRIL)TPL: Konflik sosial & lingkungan di Danau Toba. APRIL: Tuduhan deforestasi.
Viscose & SeratSateri, Bracell2000-anEkspansi ke China dan Brasil.
EnergiPacific Oil & Gas2000-anProyek LNG di Kanada.
PerbankanUnibank (dulu United City Bank)1987 (akuisisi)Bank ditutup BI (2001), timbul kerugian negara.

Manuver di Tengah Badai: Krisis 1997 dan Kontroversi Unibank

Krisis finansial Asia 1997 menjadi ujian berat, tetapi juga mengungkapkan ketangguhan dan kontroversi cara Tanoto berbisnis. Salah satu episode gelap yang mencuat adalah kasus Unibank. Bank yang diakuisisinya pada 1987 ini akhirnya ditutup oleh Bank Indonesia pada 2001 dalam kondisi tidak sehat. Yang menjadi sorotan adalah manuver kepemilikan saham dua bulan sebelum penutupan, di mana kepemilikan besar dipecah menjadi saham-saham di bawah 5% sehingga pemegang saham pengendali sulit dilacak. Akibatnya, pemerintah melalui IBRA harus menanggung biaya penjaminan simpanan nasabah sebesar Rp 3,1 triliun, sementara Tanoto dianggap berhasil menghindari tanggung jawab.

Filosofi 5C dan Pembersihan Citra

Di puncak kariernya, Tanoto banyak mempromosikan filosofi bisnis “5C”: bisnis harus baik untuk Community (masyarakat), Customer (pelanggan), Country (negara), Climate (iklim), dan barulah terakhir untuk Company (perusahaan). Untuk merealisasikan prinsip “good for community”, dia mendirikan Tanoto Foundation pada 1981, yang fokus pada beasiswa pendidikan, pembangunan sekolah, dan layanan kesehatan di daerah terpencil. Yayasan ini juga menjadi jembatan dengan dunia akademis internasional, seperti kolaborasinya dengan Gates Foundation pada 2025.

Namun, upaya membangun citra sebagai industrialis yang bertanggung jawab sering kali berbenturan dengan warisan konflik di lapangan. Di Riau, misalnya, perusahaan kelapa sawitnya, Asian Agri, terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang mengharuskannya membayar denda Rp 2,5 triliun berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Grupnya juga dituding terlibat dalam kebakaran hutan untuk pembukaan lahan.

Warisan dan Tantangan Keberlanjutan

Sukanto Tanoto quote

Kisah Sukanto Tanoto adalah potret kompleks kapitalisme Indonesia: seorang visioner yang melihat peluang di setiap kesulitan, sekaligus seorang pragmatis yang piawai dalam mengarungi politik bisnis dan hukum yang kerap buram. Dia membangun infrastruktur dan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja, tetapi jejak lingkungan dan sosial dari operasi perusahaannya masih meninggalkan pertanyaan besar.

Saat ini, di usianya yang ke-76, bisnisnya telah mengalami transisi generasi. Putranya, Anderson Tanoto, telah dilibatkan dalam mengelola grup usaha. Tantangan terbesarnya ke depan bukan lagi sekadar ekspansi, melainkan bagaimana memastikan kerajaan bisnis yang dibangun dengan susah payah ini dapat beroperasi secara benar-benar berkelanjutan, membersihkan nama dari berbagai catatan kontroversi, dan mewariskan bisnis yang tak hanya besar, tetapi juga dihormati. Seperti yang pernah dia katakan sendiri, “Saya selalu percaya tidak ada bisnis yang tenggelam. Semua hanya ada dalam pikiran, karena jika anda menyerah maka anda mati”. (**)

Tinggalkan Balasan

banner-amdk-tirta-intan_3_1
previous arrow
next arrow