Sementara itu, Sekretaris Kelompok Ahli Saber Pungli Jabar, Rusman memaparkan, sebuah tindakan dikatakan pungli jika masuk dalam 3 kriteria. Pertama, memungut biaya tanpa ada dasar hukumnya. Kedua, memungut tapi melampaui apa yang telah ditentukan. Ketiga, memungut bukan pada tempatnya.
“Misal, harusnya tiket di pintu masuk, tapi ada orang yang lewat belakang. Dia bayar juga dengan biaya yang beda, itu termasuk pungli. Maka, jika memenuhi 3 poin ini, berarti itu termasuk tindakan pungli. Bukan hanya terjadi di pemerintahan, tapi juga bisa di lingkup masyarakat,” papar Rusman.
Ia menyebutkan salah satu praktik pungli yang kerap terjadi adalah biaya proses pernikahan. Harusnya biaya menikah itu hanya Rp600.000. Namun, di beberapa daerah bahkan bisa ditarik biaya sampai Rp2 juta.
Selain itu, ia juga menyebutkan contoh lain seperti jika ada rekan-rekan ormas atau wartawan yang kerap menggunakan posisinya untuk mengancam orang-orang, lalu meminta ‘uang damai’, ini juga termasuk tindakan pungli.
“Itu juga sudah termasuk pungli. Meski sudah digital, masyarakat kita masih banyak yang tidak mengerti cara menggunakannya. Jadi hadirlah petugas yang nakal. Sehingga potensi pungli bisa tetap terjadi,” tuturnya.
Ia menambahkan, termasuk kebiasaan yang masih melekat di masyarakat umum. Misalnya, rasa sungkan jika tidak memberikan sesuatu, padahal sudah dibantu dalam pelaksanaan.
“Masih ada di masyarakat kita yang sudah dilayani, tapi merasa tidak enak kalau tidak kasih sesuatu. Namun, karena status kita pegawai negeri, jika menerima hadiah seperti ini masuknya gratifikasi. Gratifikasi itu harus dilaporkan, sehingga jelas sumbernya,” jelas Rusman. (*)
[irp]
(Diskominfo Kota Bandung)
JANGAN LUPA IKUTI CHANEL YOUTUBE KAMI JUGA YA!