Selain itu, tegas Asep Muhidin, masyarakat mempunyai legal standing dengan mempedomani kepada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 25 Maret 2013 yang merubah frasa “pihak ketiga yang berkepentingan”. “Warga masyarakat memiliki hak untuk mengetahui perkembangan informasi terkait dugaan perkara pidana yang diduga terjadi di tubuh BPR Intan Jabar,” katanya.
Dengan berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi, Asep menegaskan, tentu ada indikasi kuat telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya penegak hukum harus memaknai dan memahami isi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang menyebutkan “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM, dan frase membantu pencari keadilan.
“Artinya, penyidik kejaksaan apabila mengalami hambatan harus disamapaikan dimuka pengadian dan Hakim wajib membantu, memecahkan solusi hambatannya, dan masyarakat sebagai pencari keadilan harus mendapatkan keadilan yang utuh, tidak terpotong-potong,” imbuhnya.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues