GarutNews

Terobosan Terbaru Ir. Jujun Juansyah, ST,.MT, Mendekatkan Pengolahan Sampah Ke Desa-Desa

×

Terobosan Terbaru Ir. Jujun Juansyah, ST,.MT, Mendekatkan Pengolahan Sampah Ke Desa-Desa

Sebarkan artikel ini

LOCUSONLINE – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Garut, Ir. Jujun Juansyah Nurhakim, ST,. MT terus melakukan langkah-langkah nyata guna meminimalisir jumlah penumpukan sampah di Kabupaten Garut.

Sebagai orang nomor satu di lembaga yang membidangi pengelolaan sampah, keberesihan dan pertamanan, Jujun mengaku memiliki tanggung jawab yang besar kepada masyarakat dan negara. Sehingga, dengan kedudukannya sebagai Kepala DLH, dirinya merasa harus membuat inovasi-inovasi yang benar-benar bermanfaat dan melindungi lingkungan hidup dari limbah.

Setelah membuat program Puding (Pojok Edukasi Lingkungan) yang dibangun di bagian belakang Gedung Kantor DLH, Jujun membuat formula yang lebih luas, namun tetap terintegrasi dengan program Puding.

Lalu apa inovasi yang dibuat pejabat yang pernah menduduki jabatan sebagai Sekretaris Dinas PUPR ini. Nama program itu disebut Gerakan Pembangunan Rakyat Sejahtera (Gerbang Raja).

“Program Gerbang Raja masih terintegrasi dengan program yang sudah saya buat sebelumnya, yaitu Program Pojok Edukasi Lingkungan,” ujar Jujun Juansyah saat ditemui Surat Kabar Locus, di ruang kerjanya, Selasa (12/12/2023).

Tidak hanya itu saja, Jujun Juansyah juga mengaku sudah membuat program yang tidak kalah pentingnya bagi kesehatan dan keberesihan lingkungan di seluruh Kabupaten Garut yaitu gerakan Kampung Ramah Lingkungan (Kang Raling) yang diintegrasikan dengan konsep pemanfaatan Dana Desa (DD). untuk pengolahan persampahan.

Gerbang Raja, ujar Jujun memiliki dua poin penting. Pertama tentang edukasi pengolahan terkait persampahan yang terintegrasi yang diawali dengan membuat pemetaan, identifikasi persoalan sampah di desa sampai dengan pelaksaanaan Forum Grup Discusion (FGD).

“FGD wajib dilakukan dalam rangka mencari kesepakatan tentang kelengkapan edukasi. Pada FGD ini juga dibahas terkait sarana dan prasarana yang harus disiapkan, bahkan siapa yang menyiapkan sarana ini juga masuk pada tahapan FGD,” ujarnya.

Selain itu, sambung Jujun, dalam FGD ini akan dilakukan kajian dan pembahasan lebih luas, diantaranya membahas tentang pendanaan. Apakah akan menggunakan anggaran negara, swasta atau iuran dari warga. “Berapa dana yang dibutuhkan harus dibahas di FGD,” katanya.

Menurut Jujun, yang tidak kalah penting harus dihitung dulu berapa biaya yang harus dikeluarkan agar program berjalan lancar sesuai harapan. Karena untuk melakukan pengolahan sampah nanti akan melibatkan Sumber Daya Manusia (SDM), moda transportasi, BBM (Bahan Bakar Minyak) serta tempat atau lahan.

“Proses pengangkutan sampah dari rumah warga ke tempat pengolahan sampah akan dilakukan oleh siapa saja, berapa biaya untuk petugas yang yang mengangkut, serta tempat atau lokasi pengolahannya dimana. Itulah sistem. Jadi saya ingin menyiapkan dulu sistemnya terlebih dahulu,” tandasnya.

Pada FGD juga harus ada kesepakatan tentang pemanfaatan sampah. Sampah-sampah yang sudah terkumpul akan dibuat untuk apa. Apakah akan dibuat kompos atau dibuat untuk hal lain.

“Limbah bisa dipilah antara organik dan anorganik. Organiknya bisa dibuat kompos atau budiaya Magot. Kalau untuk anorganiknya bisa dipilah lagi. Untuk memutuskan produksi yang akan dibuat, harus dibahas terlebih dahulu,” katanya.

Jujun menegaskan, poin kedua adalah mendekatkan pengolahan sampah. Artinya mendekatkan Puding ke desa masing-masing, karena Puding ini harus didekatkan, karena, kalau tidak didekatkan ujung-ujungnya pembuangan sampah akan dilakukan ke sembarangan tempat seperti ke jalan atau ke sungai.

“Dengan sistem edukasi mendekatkan Puding ke desa-desa, masyarakat hanya bertugas memilah sampah, sehingga yang mengelola sampahnya ini yang harus dibentuk terlebih dahulu,” terangnya.

Untuk membentuk organ pengelola sampah, maka langkah yang bisa dilakukan yaitu melalui KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang dibentuk oleh kepala desa. Tentu saja dengan memanfaatkan Dana Desa (DD) dalam rangka membuat satu kelembagaan yang berkelanjutan.

“Dana Desa bisa dimanfaatkan untuk membuat bangunan Puding di desa-desa. Kenapa demikian, karena TPS3R (Tempat Pembuangan Sampah Reduce, Reuse, Reycle) yang sekarang sudah ada 15 TPS sama sekali tidak berjalan, karena kelembagaannya tidak memiliki anggaran operasional, baik untuk BBM kendaraan, termasuk tidak ada honor untuk petugasnya,” ujarnya.

Sehingga, papar Jujun, untuk membiayai kelembagaan KSM bisa menghadirkan Dana Desa untuk membiayai operasional honor dan BBM nya. Lalu bagaimana kalau pihak Desa tidak mau menggunakan anggaran Dana Desa, tetapi menggunakan dana iuran dari masyarakat.

Jujun mengatakan, pihak desa bisa membuat pilihan yang disepakati bersama, apakah harus menggunakan dana desa atau ada pilihan lainnya, tetapi setidaknya harus ada kepedulian dari seluruh elemen masyarakat. Jangan sampai masyarakat hanya diam saja.

“Jangan hanya mau mengeluarkan dan menghasilkan sampah saja, setiap individu harus peduli dengan kondisi sampah di lingkungan. Apabila bisa membuat sampah, tetapi mereka sendiri tidak mau mengolahnya secara mandiri, maka bisa meminta bantuan orang lain. Namun resikonya adalah harus memberikan honor kepada orang yang bekerja,” tandasnya.

Apabila ada ada iuran, maka bisa memotivasi pihak-pihak yang mengangkut sampah dari warga ke lokasi pengolahan sampah. “Prinsip ini harus terbentuk. Tentu saja petugas bisa dibayar dengan iuran warga atau dari Dana Desa. Namun ingat pengolahan sampahnya dipusatkan di lokasi Puding,” jelas Jujun.

Lalu apa kendala yang ada di lapangan, Jujun menegaskan, sejak dulu keberadaan tanah atau lahan yang sering menjadi masalah. Maka dia menyarankan kepada pihak desa yang tidak memiliki lahan carik, maka bisa pinjam pakai dengan tanah masyarakat. Tapi kedepannya harus merencanakan untuk membuat program pengadaan tanah.

Baca Juga  Kadisdik Ade Manadin Umumkan PPDB TK, SD dan SMP di Garut Telah Dibuka

“Banyak yang mengeluh ke saya bahwa Dana Desa tidak bisa digunakan untuk pengadaan tanah. Maka saya sering tegaskan, menurut saya bisa saja. Karena di tempat lain bisa, kenapa di Garut tidak bisa,” imbuhnya menegaskan.

Peranan Pendamping Desa

Persoalan di desa harus segera terselesaikan dan dibutuhkan pihak-pihak terkait untuk memberikan solusi. Maka setiap desa seharusnya ada pihak yang menengahi, yaitu pendamping desa dari kemendes.

“Keberadaan pendamping desa sangat dibutuhkan terkait dengan upaya pengadaan lahan untuk pengolahan sampah,” papar Jujun Juansyah.

Dengan menggunakan konsep edukasi dari Dinas Lingkungan Hidup dan tenaga fasilitator yang akan mendampingi KSM untuk memberikan edukasi, maka sistem akan mudah untuk dijalankan.

“Ketika pemetaan dan sebagainya termasuk pengadaan sarana dan prasarananya sudah dilaksanakan, maka Dinas Lingkungan Hidup akan membantu infrastruktur dan bangunannya, semoa bisa terbangun dalam bentuk TPS3R yang lebih refresentatif dan mungkin dibantu mesin tekhnologinya,” ujarnya.

Namun demikian, yang harus menjadi prioritas utama adalah terbangunnya satu kepedulian yakni desa untuk membuat tempat pengolahan sampah seperti Puding. Untuk bangunan Puding di desa tidak perlu membuat bangunan sebagus di Dinas LH, pihak desa bisa membangun lebih sederhana.

“Yang penting tempat itu berfungsi sebagai tempat pengolahan sampah. Seiring dengan waktu, semisal dari Dana Desa sangat memungkinkan untuk digunakan ya alhamdulillah. Tapi tentu saya tidak bisa interfensi kepada pihak desa dan masyarakat. Saya hanya bisa menyarankan.

Lokasi Darurat Pengolahan Sampah dan 6 Desa Percontohan

“Saya sering bilang, silahkan sekarang membuat lokasi darurat dulu. Tapi kedepannya, seiring dengan waktu, anggarkan Dana Desa untuk membangun Puding. Maka bahasa saya memang tidak langsung to the poin ke pembangunan Puding, tetapi tempat pengolahan sampah yang didekatkan kepada masyarakat atas biaya yang disepakati, baik dari dana desa maupun dari iuran warga. Ini yang akan saya lakukan,” ungkapnya.

Sebelumnya, pihak DLH Kabupaten Garut sudah membuat pilot projek di Desa Mekargalih, Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut. Di wilayah ini ada 9 RW. Dalam beberapa bulan karakter masyarakat sudah menujukan perubahan positif. Dari 2.650 KK, hampir setengahnya berhasil mengolah sampah di lingkungan, sehingga tidak masuk ke TPA.

“Sampah diolah dan dipilah langsung oleh warga, walau masih ada yang dicampur tetapi intinya mereka sudah mau mengelola di tempat yang didekatkan. Saya fasilitasi kendaraan bermotor roda tiga dan tempat pengolahan sampahnya, karena ada anggarannya. Dan memang sebelumnya mereka sudah terbiasa melakukan kebiasaan mengolah sampah, saya hanya memberikan suport tambahan dengan menambah armada kendaraan,” ungkap Jujun memuji aktivitas warga.

Sekitar 50 persen dari 2.650 KK atau sekitar 1.320 warga tidak membuang sampah lagi ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Artinya, kalau ini dikerjakan secara masif, maka diyakini tidak ada lagi pembuangan sampah ke TPA.

“Kenapa DLH Garut tidak melakukan seperti Kabupaten Banyumas, langsung membangun tempat pengolahan sampahnya. Karena saya memiliki alasan sendiri, saya ingin mendahulukan pembentukan kelembagaannya. Lalu, apakah saya bisa atau tidak, jawabannya pasti bisa. Sangat mudah memberikan infrastruktur dan mesin. Saya kan tinggal mengajukan anggaran melalui APBD atau dari Bantuan Provinsi bahkan dari DAK. Tetapi bukan itu, karena saya memiliki pengalaman, pembangunan TPS3R tidak berjalan, akibat kelembagaannya belum terbentuk. Sehingga saya pun menjadi trauma,” ungkap Jujun dengan jujur.

Akhirnya, masih kata Jujun, ia menyiapkan itu dari hal paling dasar. Bahasanya bukan lagi TPS3R, tetapi mendekatkan masyarakat ke lokasi pengolahan sampah, sesederhana mungkin. “Saya mencoba di tahun 2023 ini dengan menggunakan jasa satu tenaga ahli. Aktifkan TPS3R yang tidak berfungsi, dan buktinya tidak berhasil,” katanya.

Pengolahan Sampah di Perkotaan dan Desa

Persoalan sampah terjadi di desa-desa, lalu bagaimana dengan kondisi pengolahan sampah di perkotaan atau di kelurahan, Jujun menegaskan, persoalan sampah dan lahan pengolahan sampah terjadi di desa-desa, namun tentu, apalagi di perkotaan. Untuk itu Jujun mengaku, untuk wilayah perkotaan dirinya membuat konsep kolaborasi beberapa kelurahan atau mungkin pihak kelurahan bisa bekerjasama dengan pihak desa yang memiliki lahan kosong. Salah satu contoh Desa Suci Kecamatan Karangpawitan, yang memiliki lahan 2 hektar didaerah Bojonglarang.

“Kenapa pihak-pihak kelurahan tidak berkolaborasi dengan pihak desa, padahal lokasinya tidak jauh. Masih terjangkau. Artinya diantara kepala desa dengan kelurahan bisa bermusyawarah. Bisa melakukan pengolahan sampah bersama-sama di lokasi yang sudah disepakati, sehingga berada dalam satu kawasan,” jelasnya.

Kedua dari sisi bangunan, untuk membangun pengolahan sampah bisa menggunakan dana kelurahan, tingal bagaimana pimpinan kecamatan memberikan dorongan. Selama ini banyak pihak mengatakan bahwa kecamatan tidak bisa interpensi ke pihak kelurahan, padahal tentu saja pihak kecamatan memang bisa melakukan interpensi demi kepentingan umum.

“Kata siapa kecamatan tidak bisa interpensi ke pihak kelurahan atau desa. Saya katakan bisa saja. Untuk pembangunan bisa diposkan melalui dana kelurahan atau dana desa, yang menjdi masalah adalah honor atau biaya operasionalnya. Maka saya bilang, kalau begitu simpan saja anggarannya di kecamatan dan jangan di kelurahan, simpani di DPA kecamatan, dengan mengggunakan sistem GU,” bebernya.

Baca Juga  PDAM Tirta Intan Garut Latih 20 Karyawan Manajemen Air Minum Tingkat Muda untuk Tinkatkan Pelayanan Publik

Jujun mengaku sudah menyampaikan tekhnis dan penganggarannya, dan sudah diterapkan di desa-desa yang dilakukan pendampingan. Setelah itu pihak DLH melakukan sosialisasi ke desa-desa, walaupun ada yang secara offline dan online.

“Saya coba melakukan desk kepada mereka tentang apa masalah-masalahnya. Mereka menyampaikan, bahwa mereka sudah membeli motor, terus mau dikelolanya per desa, karena kalau per RW lebih besar biayanya. Jadi seiring dengan perkembangan waktu nanti bisa dilakukan per RW,” katanya.

Lalu apa saja yang dibutuhkan, Jujun mengaku terus menggali informasi dari pihak desa. Ketika kendaraan bermotornya sudah ada, baru berbicara soal lokasinya. Maka lokasinya bisa menggunakan cara pinjam pakai atau setiap kepala desa dan para lurah berkumpul. Semisal di tiga desa itu hanya ada satu desa yang memiliki lahan, maka bisa saja ketiga desa itu menggunakan lahan secara bersama-sama.

“Bisa menggunakan lahan bareng-bareng, antara beberapa desa atau desa dan kelurahan. Kalau semisal harus ada kontribusi ke pihak desa yang memiliki lahan, maka silahkan di musyawarahkan. Kalau satu desa bisa mengadakan lahannya masing-masing, maka itu lebih bagus. Itu yang saya coba dampingi ke pihak desa,” terangnya.

Setelah ada motor dan lahan, maka selanjutnya harus dimusyawarahkan tentang honor untuk petugas, misalnya Rp 500.000 / orang dikali 6 dikalikan satu tahun, maka pembiayaannya sudah bisa digambarkan. Untuk tenaga pemilah sampah pun demikian. Sedangkam biaya untuk BBM, tinggal menghitung jarak ke lokasi pengolahan sampah. Dan untuk gedung pun diberikan gambarannya.

“Apalagi kalau didukung oleh warga, maka itu akan menjadi sangat bagus. Kan ada peribahasa yang mengatakan, sampahku tanggung jawabku, sampahmu tanggung jawabmu. Artinya, kalau ada sampah milik seseorang, lalu harus dikelola oleh orang lain, maka tentu wajib ada biaya pengelolaannya. Itu bukan hal yang ilegal, tetapi tanggung jawab masing-masing. Jarang orang sukarela, karena mereka juga memiliki tanggung jawab keluarga yang harus dibiayai,” tandasnya.

Untuk tahun 2024, DLH Kabupaten Garut akan membuat minimal 6 desa sebagai percontohan, tempatnya masih di wilayah perkotaan, karena perkotaan ini paling krusial. Adapaun diantara 6 desa itu adalah Mekargalih, Cisurupan, Sukajaya, Pataruman dan rencananya di Karyamekar Padaawas Pasirwangi.

“Tetapi yang lain juga saya lakukan edukasi, walaupun sifatnya tidak terdaftar didalam rencana, tetapi setiap ada permohonan edukasi, maka saya berikan edukasi. Saya juga sudah menyebarkan surat edaran bupati, mereka harus membuat tempat pengolahan secara mandiri dengan menggunakan dana desa. Bulan November 2023 sudah disosialisasikan, selanjutnya saya akan meminta data ke pihak kecamatan, desa mana saja yang sudah siap.” ungkapnya.

Reward dan Punishment

Untuk melancarkan program pengolahan sampah di Kabupaten Garut, khususnya peningkatan kepedulian di masyarakat, maka pihak DLH Kabupaten Garut harus melakukan monitoring, jangan sampai pihak desa yang sudah siap tetapi tidak didampingi, maka programnya dikhawatirkan bisa gagal.

Bahkan, untuk memberikan semangat dan memotivasi pihak desa dan warga, pihak DLH pun akan membuat reward dan funishment (penghargaan dan hukuman). Untuk hal ini, Jujun mengaku sudah membahasnya dengan pihak Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Garut, H. Nurdin Yana.

“Rewardnya tidak harus selalu dalam bentuk uang, tetapi bisa memberikan alat yang bisa memudahkan warga untuk beraktivitas seperti memberikan hadiah mesin pencacah, mesin pemilah atau apa saja, yang terpenting bisa memudahkan pekerjaan dan motivasi warga,” katanya.

Selain itu, Jujun menekankan, yang lebih utama adalah komitmen politiknya. Harus bisa mengingatkan warga dan phak desa serta kecamatan bahwa pengolahan sampah harus dilakukan secara gebyar dan menjadi gerakan masif, sehingga kepedulian bisa dirasakan oleh warga, RT dan RW, desa dan kecamatan. Semuanya jadi peduli.

“Karena, kalau mereka tidak peduli maka siapa lagi. Saya dapat pesan dari pemerintah Banyumas, dan sudah saya dapat rasakan langsung. Ketika Dinas LH melakukan upaya dan sosialisasi apapun, maka selama tidak didukung pihak kecamatan, kelurahan, desa, RW RT dan warga maka hasilnya akan percuma saja,” terangnya.

Bagaimana komitmen pihak desa kepada kepala daerah. Mana saja program prioritas. Selanjutnya DLH Kabupaten akan memberikan apresiasi kepada desa yang memiliki kepedulian.

“Kita berikan rangking dengan indikator hasil berkolaborasi dengan desa. Salah satunya adalah persampahan. Mana desa yang harus diapresiasi menurut kriteria yang spesifik tentang pengolahan sampah, serta jangan dikaitkan dengan hal lain agar fokus,” ungkapnya.

SKPD di Garut Wajib Terapkan Eco Office

Komitmen pengelolaan sampah ternyata tidak hanya ditekankan kepada warga masyarakat saja, inipun berlaku untuk semua perkantoran Pemkab Garut. Maka setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) harus melaksanakan program Eco Officce, artinya perkantoran yang memiliki wawasan lingkungan. Penilaiannya itu dari sampahnya, vegetasi, ruang terbuka dan keberesihannya.

“Eco Office adalah program penerapan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan aktivitas perkantoran. Jadi, setiap SKPD wajib menerapkan program ini, khususnya pemilahan sampah,” pungkasnya. (Asep Ahmad)

Ikuti saluran Youtube Locusonline

Scan this QR-code!

scan this barcode
recruitment apr 2024
Artboard 1recruitment
Artboard 2recruitment
Artboard 3recruitment
Artboard 4recruitment
Karir
previous arrow
next arrow

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Eksplorasi konten lain dari Locus Online

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca