Sekalipun cukup dingin, wanita-wanita Belanda ini –parapegawai hotel memakai kain sarung yang dipadu dengan dress. Kaki mereka kerap dibiarkan telanjang, mereka baik dan mampu berbicara bahasa Inggris. Eliza juga memberikan informasi yang didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman Garut, yang diyakini dari masa lalu –jadi sebetulnya, heboh piramid di Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir abad 19.
Alun-alun kota, hijau asri, dimana terdapat rumah bupati pribumi –pada waktu itu diperintah Raden Adipati Aria Wiratanudatar VIII yang memerintah dari 1871 hingga 1915. Terdapat rumah warga Belanda, serta sebuah masjid.
Mufti masjid sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan bebas, dia hanya memiliki seorang istri. Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka belajar Bahasa Belanda dan bertemu dengan tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Para pelancong kerap membawa surat kepada mufti ini, dan mengutip perkataannya pada buku-bukunya. Namun sejak kematiannya, ulama yang lebih konservatif memerintah. (dalam catatan sejarah, Raden Haji Muhammad Musa, diangkat sebagaiHoofd-Panghoeloe/Penghulu Besar Garut pada masa itu, tahun 1864-1886).
Para wisatawan masa itu menganggap, pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi Kawah Papandayan. Gunung yang dilukiskan dalam bukunya itu, memiliki panjang 15 mil dan lebar 6 mil, menjadi tujuan Eliza dan rombongannya –tidak dilukiskan dengan detail siapa saja yang ikut, gunung itu pernah meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku itu berkunjung. Pada waktu itu (akhir abad ke-19) Papandayan masih beruap, bergemuruh seperti petir dan setiap saat bisa meledak.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues