Dalam bukunya, Eliza mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772. Massa padat gunung itu terlontar keluar ke udara, aliran lava tercurah, abu tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitarnya dengan lapisan lima kaki tebalnya. Letusan menghancurkan empat puluh desa, dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari.Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon.Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau yang berada diantara sawah dimana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen, Jepang” (halaman 314).

Di Cisurupan, masing-masing rombongan diangkut dengan kursi yang ditandu empat kuli yang disebut Djoelie atau Djoelis –seperti yang dilihatnya di Lembang serupa dengan transportasi tandu di Cina Selatan. Rombongan melihat tanaman kopi di dasar gunung, kemudian melewati perubahan tanaman tropis ke tanaman sedang, pohon-pohon kopi yang tua terbengkalai. Bagian atas Papandayan masa itu, digambarkan, ada bagian yang berhutan lebat mirip hutan purba dengan pohon-pohon yang merambat. Diantara tanaman yang ditemukan terdapat tanaman, seperti: rotan dan anggrek dengan daun-daun hijau menyejukkan mata.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues