Salah satu targetnya adalah orang-orang Badega yang tertinggal di wilayah Sindangkasih. Mereka tertinggal dalam perjalanan mereka dari Kerajaan Galuh Pakuan di Ciamis ke Padjadjaran di Bogor.
Iing, yang merupakan keturunan keenam dari Raden Mochammad Joseof, menceritakan sejarah pembangunan masjid. Awalnya, masjid ini memiliki bentuk seperti padepokan gaya Jawa, tetapi setelah beberapa kali renovasi, masjid ini berubah menjadi masjid modern seperti yang kita lihat sekarang.
“Pada tahun 1826, Syekh Yusuf mulai membangun masjid di sini. Masjid agung ini juga merupakan alun-alun Kiansantang. Dibangun di sini karena sasaran penyebaran Islam adalah orang-orang Badega Padjajaran atau Galuh Pakuan. Beberapa orang Badega tinggal di daerah Kutawaringin, yang sekarang menjadi Pasar Rebo, dan Sindang Kasih, dekat dengan masjid ini,” jelasnya.
Meskipun beberapa ornamen telah dipertahankan, masjid agung ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan sekarang dikenal sebagai Masjid Agung Baing Yusuf di Purwakarta. Kubah dan empat pilar masjid termasuk elemen-elemen yang telah dipertahankan.
Syekh Baing Yusuf wafat pada tahun 1854 dan dimakamkan di belakang masjid ini. Makam ini juga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi tokoh-tokoh terkemuka lainnya dari pemimpin awal Karawang dan Purwakarta. Makam Syekh Baing Yusuf sering dikunjungi oleh para peziarah selama bulan Mulud, menjelang Ramadan dan bulan Rajab.
Para peziarah yang datang ke makam ini sebagian besar berasal dari luar Purwakarta, terutama dari Banten.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues