LOCUSONLINE.CO, GARUT – Penanganan Korupsi Jogging Track Mandeg. Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor) di Kejaksaan Negeri Garut dipandang menciderai kepastian hukum. Pernyataan tersebut dlontarkan salah satu warga Garut yang sekaligus pelapor/pengadu beberapa dugaan Tipikor di Pemerintahan Garut.
Dikatakan Asep Muhidin, SH.,MH, Kejaksaan Negeri Garut saat ini lebih memilih menyembunyikan informasi publik dan enggan memberikan pelayanan kepada masyarakat, khsususnya warga maupun kelompok masyarakat yang menyampaikan laporan atau pengaduan dugaan tindak pidana.
“Sebagai masyarakat yang berusaha taat kepada aturan, kami telah menempuh upaya hukum meminta informasi progres penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor), diantaranya; Dugaan Tipikor Pokok Pikiran DPRD Garut (Pokir); Dugaan Tipikor di Inspektorat Garut; Dugaan Tipikor pembangunan Joging Track pada Dinas Pemuda Dan Olah Raga (Dispora); dan Dugaan Tipikor pada penerimaan retribusi pembangunan bangunan menara telkomunikasi dan pembangunan Pabrik PT. Pratama Cijolang (gratifikasi)”. Jelas Asep diruang kerjanya.
Selain itu, Asep menambahkan masih ada beberapa perkara yang kami mintakan progres penanganannya, namun meskipun telah lebih dari 3 (tiga) kali kami bersurat, tidak satupun dijawabnya. Artinya kami menyimpulkan bahwa Kejaksaan Negeri Garut saat ini lebih memilih menyembunyikan dan/atau menutup hak publik untuk mendapatkan informasi progres penanganan perkara. Itu sangat bahaya karena akan ada potensi fraud yang dilakukan oknum Jaksa (penyidiknya) dalam menyalahgunakan wewenangnya sebagai Aparat Penegak Hukum (APH).
“Kalau memang kejaksaan Negeri Garut merasa profesional dalam arti memberikan pelayanan publik sesuai dengan ketentuan hukum, kenapa enggan transfaran dalam batasan hukum?, bukan harus transfaran telanjang karena itu ada hal-hal atau dokumen yang memang tidak diperbolehkan disampaikan kepada publik maupun pelapor”, tegas Asep.
Maka dari itu, sambungnya, karena kami telah menyampaikan surat tembusan hingga ke Kejaksaan Agung namun tidak ada respon dan tidak ada tanggapan, maka kami akan melaporkannya atau mengadukan kepada Ombudsman RI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan absolut dalam menerima pengaduan terhadap tidak diberikannya pelayanan publik oleh Kejaksaan Negeri Garut.
Asep juga menyebutkan, dirinya pernah memiliki pengalaman, sebelumnya pernah juga mengadukan kepada Kejaksaan Agung melalu Jaksa Agung Pengawasan (Jamwas) namun tidak pernah direspon, akhirnya engadukan kepada Ombudsman. Dan dari pihak Ombudsman RI memberikan penjelasan bahwa teknis penanganan pengaduan di lembaga kejaksaan dikembalkan lagi kepada kejaksaan yang diadukan.
“Pengalaman kami dulu saat mengadukan kejaksaan daerah kepada Kejaksaan Agung melalui pengawasan (JAM Pengawasan/JAMWAS), tidak diindahkan. Dan kami mengadukan kepada Ombudsman RI, namun dalam perjalannya yang menjadi aneh justru kata petugas Ombudsman RI kalau ada pengaduan ke Kejaksaan Agung, itu dikembalikan atau disposisi kembali kepada Kejaksaan yang diadukan, bukan mengambil langkah dan tindakan faktual sesua ketentuan. Jadi atas dasar itulah kami akan melaporkan atau mengadukan kepada Ombudsman RI”, ungkap Asep yang juga berprovesi sebagai advokat.
Selain akan melaporkan atau mengadukan kepada Ombudsman RI, Asep juga akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada pengadilan atas tidak ditaatinya ketentuan hukum yang mengatur Jaksa dalam melakukan langkah dan tindakan hukum dalam menangani laporan atau pengaduan masyarakat.
Intinya, sambung Asep, jangan dampai hukum ini menjadi barang dagangan bagi orang-orang yang ada dalam perkara itu, sehingga potensi adanya transaksional membeli pasal akan terbuka lebar. Kejaksaan bukan toko atau tempat berdagang, tetapi sebuah lembaga negara yang memiliki kedudukan mulia yaitu dominus litis (pengendali perkara).
Untuk diketahui, dalam perkara dugaan Tipikor Pokir, Kejaksaan belum.menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), terus dugaan Tipikor Joging Track jelas-jelas itu menimbulkan kerugian keuangan yang diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum bukan akibat kesalahan administrasi, lalu dugaan Tipikor retribusi tidak ditariknya atau diterapkannya biaya retribusi yang wajib diterapkan oleh petugas pada dinas PUPR karena diduga adanya gratifikasi kepada oknum petugas PUPR, dan lain sebagainya. Lalu apakah kejaksaan negeri garut akan mempertahankan dalil pembenaran mereka?, kalaupun ada maka harus disampaikan kepada publik, bukan sembunyi-sembunyi.
“Jadi jangan sampai masyarakat atau pihak lain diperintahkan untuk taat kepada aturan, sementara pelaksananya (Jaksa) pada Kejaksaan tidak mentaati peraturan perundang-undangan termasuk Standar Operasional Prosedur (SOP) internal kejaksaan yang menjadi pedoman seluruh Jaksa”, pungkasnya. (Asep Ahmad/Red.01)