“Itu tergantung kebijakan masing-masing daerah. Tapi biasanya daerah itu kecenderungannya menggabungkan karena kita tahu kapasitas anggaran di daerah juga sangat terbatas, sehingga tidak mungkin memecah sesuai apa yang terjadi di pusat,” katanya.
Meskipun demikian, Slamet menekankan bahwa urusan pendidikan dasar merupakan urusan wajib pemerintah kabupaten/kota, pendidikan menengah merupakan urusan pemerintah provinsi, dan pendidikan tinggi merupakan urusan pemerintah pusat.
Slamet juga menilai bahwa jumlah kementerian yang cukup banyak tidak bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
“Sekarang juga otonomi daerah hampir tidak ada lagi karena kayak peraturan daerah itu harus disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri. Perda terkait dengan retribusi, pajak daerah, ‘kan harus mendapat persetujuan dari pusat,” katanya.
Ia mengatakan jika tidak mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, perda-perda tersebut tidak bisa diundangkan. Selain itu, anggaran dari pemerintah pusat untuk daerah juga sudah ditentukan untuk apa saja.
“Jadi, sekarang itu praktis otonomi daerah sifatnya hanya administratif saja, hanya penyelenggara saja, tidak bisa mengolah secara penuh,” katanya.
Oleh karena banyak terdapat nomenklatur kementerian yang baru, Slamet menegaskan bahwa pemerintah daerah tetap harus mengikutinya.
“Mau, tidak mau, birokrasi memang harus mengikuti arahan dari pusat. Yang penting tadi, mekanisme komunikasi dan koordinasinya jelas, sehingga tidak terjadi interpretasi yang berbeda antara pusat dan daerah,” kata Prof. Slamet.
