Pelapor juga menyoroti Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) yang diterbitkan oleh Bupati Garut pada 29 September 2017, yang mengacu pada rekomendasi Dinas PUPR bidang tata ruang nomor: 503/1599/PU.PR tanggal 28 September 2017. Namun, rekomendasi tersebut tidak menjelaskan tentang lahan pertanian yang dilindungi, melainkan hanya membahas struktur tanah atau kondisi tanah yang rawan pergerakan/pergeseran (geologis).
“Selain ada oknum pejabat Pemkab Garut yang menerima duit untuk menerbitkan izin pada sekitar 2,3 hektar yang merupakan lahan pertanian yang tidak diperbolehkan alih fungsi diantaranya bangunan Factory, Were Hause, Electric Room, bangunan TPS B3, RMCC Building dan lain sebagainya, kenapa Pemkab Garut bisa menerbitkan rekomendasi dan izinnya? Kalau oknum pejabatnya tidak dikasih duit, mana mungkin izin bisa terbit jika tak ada uang masuk ke kantong sang pejabat,” tegasnya.
Pelapor menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 72 ayat (1), ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU LP2B), pejabat yang terlibat dalam alih fungsi lahan dapat dipidana dengan hukuman yang lebih berat.
“Jelas pada Pasal 72 ayat (1), ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU LP2B) menyebutkan : (1). Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dan ayat (3). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pejabat pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan,” tegasnya.
