Tidak hanya itu, harga barang yang disediakan CV SDA dalam kontrak tersebut didapati jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasaran maupun dari vendor lain. Review sederhana menunjukkan selisih harga yang mencolok, berkisar antara 30-60%. Dugaan mark-up ini semakin menguatkan indikasi bahwa proyek ini telah diatur sedemikian rupa untuk keuntungan pihak tertentu.
Meski berbagai fakta mencurigakan telah terungkap, dr. Renny Indrayani tetap bersikukuh bahwa tidak ada aturan yang dilanggar. Menurutnya, siapa pun boleh mendirikan perusahaan sepanjang bukan ASN, termasuk adik kandungnya. Pernyataan ini seolah mengesampingkan indikasi konflik kepentingan yang begitu jelas.
“Saya tegaskan bahwa tidak ada yang melanggar aturan. Kalau ada yang ingin berusaha dengan mendirikan perusahaan, selama bukan ASN atau PNS, itu sah-sah saja. Kami mengikuti prosedur yang ada, dan semua dilakukan melalui E-Katalog yang transparan. Jika ada yang merasa harga tidak sesuai, itu adalah kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam sistem,” ujar dr. Renny Indrayani dengan tegas.
Fakta bahwa perusahaan keluarga bisa memenangkan kontrak besar dalam waktu singkat, ditambah dengan dugaan pengondisian harga, menunjukkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk kepentingan pribadi. Dengan posisi strategisnya sebagai direktur, dr. Renny Indrayani memiliki wewenang besar dalam menentukan penyedia barang dan jasa untuk rumah sakit yang dipimpinnya.
Praktik semacam ini bukan hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Peraturan terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah jelas melarang konflik kepentingan yang dapat merugikan keuangan negara. Jika dugaan kolusi ini terbukti, maka tidak hanya melibatkan pejabat rumah sakit, tetapi juga dapat menyeret pihak-pihak lain yang terlibat dalam skema ini.
