Selain itu, tandas Bakti, Hakim mempedomani putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor: 98/PUU-X/2012 tanggal 21 Mei 2013 yang menyatakan interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal yang diujikan tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti LSM atau ormas lainnya.
“Hakim juga berlasan bahwa “frasa” pihak ketiga yang berkepentingan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor, LSM atau ormas,” papar Bakti.
Bakti menegaskan, dengan berbagai pandangan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang disampaikan melalui eksepsi pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai termohon, maka Hakim memutuskan menerima ekspesi termohon untuk seluruhnya dan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
“Dalam pokok permohonan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima seluruhnya dan membebankan biaya perkara kepada para pemohon sejumlah nihil,” katanya.
Bakti mengatakan, saksi dari penyidik Kejari Garut seakan telah memberikan rambu-rambu untuk kembali membuka tabir dugaan korupsi Pokir, Dana BOP dan Reses di DPRD Garut.
“Salah satu saksi yang dihadirkan pihak termohon dalam hal ini penyidik dari Kejaksaan menyatakan dengan tegas, bahwa SP3 Pokir, Dana BOP dan Reses bisa dibuka kembali apabila ada pihak-pihak yang memiliki bukti baru yang dapat membuka tabir dugaan korupsi di tubuh DPRD Garut. SP3 ini belum menjadi titik artinya memang belum tuntas,” terangnya.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues