Usai dimutasi, Djuyamto sempat kembali mengadu ke Komisi Yudisial. Ia mengeluhkan bahwa niatnya memperbaiki sistem justru berujung penyingkiran.
Namun, perjalanan kariernya kembali ke Jakarta justru berujung pada kasus hukum. Pada April 2025, Kejaksaan Agung menetapkan Djuyamto sebagai tersangka bersama dua hakim lainnya, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Mereka diduga menerima suap dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO.
Djuyamto, yang memimpin majelis hakim dalam perkara tersebut, dituduh menerima aliran dana senilai total Rp60 miliar dari tiga perusahaan kelapa sawit. Suap itu diduga sebagai imbalan atas putusan lepas (ontslag) yang membebaskan terdakwa dari semua tuntutan pidana.
“Ini mencerminkan betapa sulitnya mempertahankan integritas di tengah sistem yang korup. Jika tidak ikut bermain, maka akan disingkirkan,” kata Mahfud, menyayangkan kondisi peradilan saat ini.
Kasus ini menjadi sorotan publik, karena mencerminkan kerentanan sistem peradilan terhadap intervensi dan praktik suap, sekaligus menunjukkan tantangan besar bagi upaya reformasi hukum di Indonesia. (AA Syah)
