Perkara 75/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Muhammad Imam Maulana dan rekan-rekannya mengkritik kurangnya asas keterbukaan dalam pembentukan UU TNI. Mereka menyebut pembentuk undang-undang gagal menghadirkan partisipasi publik yang bermakna, sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
“UU ini disusun tanpa melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Ini bertentangan dengan prinsip pembentukan undang-undang yang baik dan konstitusional,” tegas Imam Maulana dalam persidangan.
Para pemohon dari ketiga perkara tersebut juga menilai pembentukan UU TNI cenderung dilakukan secara tergesa-gesa, minim naskah akademik yang berkualitas, serta tidak menunjukkan adanya kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam pedoman evaluasi peraturan perundang-undangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Lebih jauh, mereka menuding UU ini justru menjadi alat politik untuk memperpanjang masa dinas sejumlah perwira tinggi TNI dengan dalih penguatan peran pertahanan, tanpa memperhitungkan beban institusi maupun prinsip checks and balances.
Berdasarkan argumentasi tersebut, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2025 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka juga meminta ketentuan lama dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 yang telah dihapus atau diubah, diberlakukan kembali.
Sebagai catatan, dalam sidang pendahuluan sebelumnya (9/5/2025), para pemohon perkara 56/PUU-XXIII/2025 juga mempertanyakan relevansi pelibatan prajurit TNI dalam kementerian/lembaga sipil serta perpanjangan batas usia pensiun tanpa dasar yang jelas dan tanpa evaluasi dampaknya terhadap tata kelola pertahanan nasional.
