LOCUSONLINE, JAKARTA – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 hanya sebagai “rumor tanpa bukti”, memicu kecaman dari berbagai kalangan, khususnya aktivis perempuan dan pegiat hak asasi manusia. Mereka menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk penyangkalan negara atas pelanggaran berat HAM dan pengaburan sejarah. sabtu, 14 Juni 2025
Aktivis perempuan dan anggota Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai pernyataan Fadli Zon sebagai pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran. Kamala Chandrakirana, salah satu aktivis HAM, menyebut pernyataan itu sebagai wujud dari “budaya penyangkalan” yang masih kuat di kalangan penguasa, hampir tiga dekade setelah tragedi terjadi.
“Pernyataan itu menunjukkan bahwa budaya penyangkalan masih hidup bahkan di level tertinggi pemerintahan. Ini berbahaya karena menghambat pengakuan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan,” ujar Kamala dalam konferensi pers, Jumat (13/6).
Pernyataan Fadli Zon disampaikan dalam wawancara di kanal YouTube IDN Times, di mana ia meragukan keberadaan pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Ia menyatakan tidak ada bukti dan peristiwa itu tidak tercatat dalam buku sejarah.
“Ada pemerkosaan massal? Kata siapa? Itu tidak pernah ada bukti. Itu hanya cerita,” ujar Fadli Zon dalam wawancara tersebut.
Namun, fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 menyebutkan terdapat puluhan korban kekerasan seksual yang telah diverifikasi, termasuk 52 kasus pemerkosaan, 14 pemerkosaan disertai penganiayaan, serta berbagai bentuk pelecehan lainnya. Kekerasan tersebut banyak menimpa perempuan Tionghoa dan terjadi di sejumlah kota seperti Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo.
