Ita Fatia Nadia, salah satu aktivis perempuan yang mendampingi korban sejak awal, menegaskan bahwa klaim Fadli Zon bertentangan dengan catatan resmi negara dan fakta sejarah yang terdokumentasi. Ia menyebut pernyataan tersebut sebagai bentuk penyangkalan yang mencederai perjuangan korban dan keluarganya.
Lebih lanjut, dalam dokumen resmi sejarah nasional, seperti yang tertuang dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, disebutkan secara eksplisit mengenai pemerkosaan massal dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998. “Kalau menteri bilang tidak ada, berarti dia mengingkari dokumen sejarah resmi negara,” tegas Ita.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti penulisan ulang sejarah nasional yang tengah dikerjakan Kementerian Kebudayaan di bawah kepemimpinan Fadli Zon. Dalam draf kerangka konsep yang diperoleh publik, sejumlah pelanggaran HAM berat tidak dicantumkan, termasuk Peristiwa Mei 1998, Penembakan Misterius (Petrus), Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, penghilangan paksa aktivis, dan pembantaian 1965.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa proyek penulisan ulang sejarah tersebut akan digunakan sebagai alat legitimasi politik, serta meminggirkan peran perempuan dan kelompok rentan dalam sejarah bangsa.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Sulistyawati Irianto, menyebut tindakan menafikan kekerasan seksual dalam sejarah bangsa sebagai bentuk “penyesatan identitas nasional”. Ia menegaskan bahwa bangsa yang ingin maju harus berdamai dengan masa lalu dan mengakui sejarah kelamnya.
