“Kalau sejarah kekerasan seksual terhadap perempuan dihapus, bangsa ini kehilangan kesempatan untuk menyembuhkan luka kolektifnya,” kata Prof. Sulis. Ia mencontohkan negara-negara seperti Jerman dan Jepang yang secara aktif membangun memorialisasi sebagai bentuk pertanggungjawaban sejarah.
Pernyataan Fadli Zon juga dinilai bertolak belakang dengan komitmen Presiden BJ Habibie saat itu yang secara terbuka mengakui terjadinya kekerasan terhadap perempuan Tionghoa dan kemudian membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998.
Ita Fatia Nadia yang turut dalam pertemuan dengan Presiden Habibie pada Oktober 1998 menegaskan bahwa pengakuan negara waktu itu menjadi fondasi bagi pemulihan korban dan pembangunan institusi perlindungan perempuan.
“Sebagai pejabat publik, Fadli Zon seharusnya memperkuat ingatan kolektif bangsa untuk menyembuhkan luka, bukan malah menegasikan dan menyakiti korban,” ujarnya.
Aktivis memperingatkan, jika kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 tidak dimasukkan dalam sejarah resmi negara, maka bangsa ini berisiko mewariskan budaya penyangkalan kepada generasi mendatang.
“Sejarah yang tidak jujur hanya akan memperpanjang luka dan membuat bangsa ini kehilangan legitimasi moral,” pungkas Kamala Chandrakirana. (BAAS)
