“Kami telah membuat surat edaran tentang Magrib Mengaji, agar anak-anak kembali ke masjid dan madrasah selepas waktu magrib. Ini bukan penolakan semata, ini adalah tawaran masa depan,” kata Dadang, yang kala itu berbicara di hadapan Gubernur.
Dadang memang memilih jalur berbeda. Ketimbang kedisiplinan bergaya militer, ia mendorong penguatan spiritual dan budaya. Pendidikan Pancasila, bahasa Sunda, serta kemampuan membaca dan menghafal Al-Qur’an menjadi pilar utama. Bagi Dadang, membangun karakter bukan semata soal barisan dan aba-aba, tapi tentang nilai, ruh, dan akar tradisi.
Dedi Mulyadi hanya menanggapi dengan anggukan kecil. Tidak ada bantahan. Tidak pula tepuk tangan. Hening. Tapi dari situ publik membaca: dua visi, dua kepala daerah, satu panggung.
Sosok di Balik Sorotan
Dadang Supriatna bukan sosok baru dalam jagat politik lokal. Lahir di Bandung, 7 Agustus 1971, ia tumbuh dari lingkungan desa, menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Kabupaten Bandung, dan meniti karier politik dari bawah sebagai Kepala Desa Tegalluar selama dua periode. Ia pernah duduk di DPRD Kabupaten Bandung dua periode, hingga akhirnya melangkah ke arena Pilkada Bandung 2020 dan menang bersama Sahrul Gunawan.
Tak berhenti belajar, Dadang menyelesaikan studi sarjananya di Universitas Langlangbuana, melanjutkan magister di bidang Ilmu Pemerintahan, dan meraih gelar doktor di Universitas Trisakti dengan konsentrasi Ilmu Ekonomi.
Konflik Diam-Diam di Balik Panggung
Apa yang terjadi di MTQH kemarin memang bukan debat terbuka, namun lebih sebagai benturan paradigma. Apakah anak-anak Jawa Barat harus ditempa lewat sistem barak ala militer? Atau cukup dibina lewat pendekatan religius yang lembut namun berakar kuat?
