“Ketika korban merasa dilihat dan dihargai, sistem pertahanan logis bisa runtuh. Apalagi jika mereka mengalami kesepian atau tekanan emosional. Pelaku tahu cara memainkan celah itu,” ujar psikolog tersebut.
Kejahatan ini bukan sekadar soal uang. Ini soal rasa malu, kepercayaan yang hancur, trauma panjang. Korban sering enggan melapor karena takut dicap bodoh atau lemah. Padahal, menurut pakar hukum siber, love scamming adalah kejahatan berbasis rekayasa sosial (social engineering) yang bisa dijerat dengan UU ITE dan KUHP.
Namun aparat hukum seringkali gagap menangani kasus semacam ini. Bukti digital sulit dilacak jika pelaku menggunakan akun palsu atau berpindah-pindah perangkat. Banyak kasus yang akhirnya mentok di tengah jalan.
Kasus Kani Dwi Haryani menambah babak baru: bahwa korban bukan lagi orang awam yang tak paham teknologi. Ia bekerja dekat dengan kekuasaan, paham media, tapi tetap terjebak.
Ini bukan soal kebodohan. Ini soal sistem yang belum siap menangani kejahatan yang menyusup lewat cinta dan koneksi daring.
Pertanyaannya kini: apakah negara cukup peduli? Di mana posisi lembaga seperti Kominfo, Badan Siber dan Sandi Negara, atau bahkan lembaga perlindungan perempuan dan anak? Mengapa literasi digital emosional masih minim di tengah lonjakan kasus love scamming?
Kita terlalu sibuk membangun infrastruktur digital, tapi lupa memperkuat tembok batin masyarakat.
Kisah Kani adalah alarm bagi semua. Bahwa cinta digital bukan hanya cerita manis seperti di drama Korea, tapi juga ladang subur bagi para predator emosi. Di tengah kesibukan dan gemuruh dunia maya, manusia tetaplah rentan jika kebutuhan dasarnya—dicintai dan dipercaya—dipermainkan.
