LOCUSONLINE, JAKARTA — Suasana rapat kerja Komisi X DPR RI mendadak mencekam dan emosional saat Menteri Kebudayaan Fadli Zon mempertanyakan penggunaan istilah “massal” dalam tragedi pemerkosaan 1998. Di hadapan para legislator dan publik, Fadli menyatakan dirinya tidak menyangkal kejadian tersebut, namun meragukan skalanya yang disebut “massal”—diksi yang ia anggap harus bermakna sistematis dan terstruktur. Kamis, 3 Juli 2025
“Di Nanjing ada 100.000 korban, di Bosnia 30.000 hingga 50.000. Kita? Saya tidak menegasikan, saya mengutuk, tapi apakah itu benar-benar massal?” ujar Fadli sambil mengangkat Majalah Tempo edisi 1998, merujuk pada kesulitan peliputan kasus tersebut saat itu.
Pernyataan Fadli sontak menyulut emosi para anggota dewan. Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi PDI-P, My Esti Wijayati, tak kuasa menahan air mata. Ia menginterupsi penjelasan Fadli dengan suara bergetar, mengecam narasi akademis yang dinilai menihilkan penderitaan korban.
“Pak Fadli, kenapa semakin sakit ya mendengarnya? Saya ada di Jakarta saat itu. Saya melihat sendiri ketakutan dan kekacauan. Kalimat Bapak tidak menunjukkan empati sedikit pun,” ucap My Esti dengan lirih.
Baca Juga :
Penuhi Hasrat Balas Budi Politik Pemkab Garut Gelontorkan Dana Ratusan Juta? Sekda Terima Honor Rp 10 Juta?
Tangis pun pecah dari Anggota Komisi X, Mercy Barends, yang mengingatkan bahwa testimoni korban telah dikumpulkan sejak awal Reformasi. Ia menyinggung pengakuan perempuan korban Jugun Ianfu yang akhirnya diakui Jepang secara resmi, berbanding terbalik dengan pengingkaran negara terhadap peristiwa 1998.
