Faktanya, rencana normalisasi dan pelebaran sungai ini sudah bertahun-tahun dibicarakan. Pembebasan lahan disebut telah selesai, tapi proyek fisik tak pernah benar-benar berjalan. Badan Besar Wilayah Sungai (BBWS) kebagian tanggung jawab, namun publik tak pernah mendapat kepastian kapan pekerjaan dimulai dan selesai.
Ironi terbesar: Cimindi adalah bagian dari kawasan metropolitan Bandung Raya, tetapi penanganan infrastrukturnya sekelas daerah terpinggirkan. Air buangan dari kawasan elite di hulu tanpa ampun diarahkan ke permukiman padat di hilir tanpa ada tanggung jawab moral maupun teknis dari otoritas.
Warga sudah muak dengan simbolisasi kosong. Mereka tidak butuh pernyataan pers atau seremonial pengerukan sungai yang berhenti di tengah jalan. Mereka ingin kehadiran negara yang konkret, bukan negara yang hanya datang ketika sorotan kamera menyala.
Di mata warga, banjir bukan lagi sekadar air bah—tapi cermin jernih tentang seberapa jauh negara gagal menjalankan fungsi dasarnya: melindungi rakyatnya. Pemerintah daerah, lembaga teknis, hingga pengambil keputusan di pusat seolah berlomba-lomba untuk tidak hadir tepat waktu.
Dan seperti banjir yang selalu datang, pertanyaan ini pun kembali menggenang: sampai kapan warga harus bertahan sendirian? (Bhegin)
