Di tengah kesenjangan layanan kesehatan, mahalnya biaya hidup, dan beragam persoalan fundamental lainnya, mengapa urusan penggantian nama rumah sakit menjadi prioritas? Di sinilah pertanyaan publik menggantung: untuk siapa sebenarnya kebijakan ini dibuat?
Editorial ini tidak menolak perubahan. Tapi perubahan—apalagi pada simbol publik yang sakral—harus melalui musyawarah, kajian historis, dan rasa hormat terhadap nilai-nilai yang telah dibangun. Mengganti nama tanpa proses partisipatif sama saja dengan menghapus memori kolektif dan mencederai warisan sosial.
Yang dibutuhkan rakyat saat ini bukan brand baru rumah sakit, melainkan mutu pelayanan yang membaik. Bukan papan nama yang berganti, melainkan kebijakan kesehatan yang inklusif dan menyentuh hingga akar rumput.
Gubernur Dedi seharusnya sadar, jabatan bukan ruang untuk menegakkan ego kultural pribadi, melainkan amanah untuk menjaga harmoni publik. Jika ingin dikenang, tinggalkan kebijakan yang membangun, bukan sekadar simbol yang membingungkan.
Karena sejarah tak mencatat siapa yang mengganti nama, melainkan siapa yang benar-benar bekerja. (Bhegin)
