“Harus dikaji secara komprehensif agar tidak menimbulkan disrupsi terhadap tatanan politik nasional,” ujarnya. Namun, Heri juga tidak menutup kemungkinan DPR mengabaikan putusan MK jika kajian menunjukkan dampak negatif yang signifikan.
Sikap Gerindra ini membuka ruang bahwa DPR bisa saja memilih bersikap pasif atau bahkan menolak dengan cara halus: dengan menunda pembahasan payung hukum yang diperlukan untuk menjalankan putusan.
Pemerintah Masih Hitung Dampak Politik dan Hukum
Di kubu eksekutif, pemerintah belum menyatakan posisi tegas. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan bahwa putusan MK sedang dikaji lintas kementerian, termasuk Setneg, Kemenkumham, hingga Menkopolhukam.
“Kita bahas dulu, dari sisi konstitusinya, aspek politik dan hukum. Ini menyangkut desain besar sistem pemilu kita,” jelas Tito, Rabu (2/7/2025).
Pemerintah tampaknya tak ingin buru-buru mengambil sikap, mengingat konsekuensi politis dari pelaksanaan putusan ini akan berdampak luas terhadap seluruh aktor politik nasional dan lokal.
Pakar Peringatkan: Abaikan Putusan MK = Krisis Konstitusional
Di tengah tarik ulur politik, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengingatkan bahwa mengabaikan putusan MK adalah langkah berbahaya yang dapat memicu krisis konstitusional.
“MK punya kewenangan untuk mengatur norma transisi. Masa jabatan DPRD yang menjadi tujuh tahun itu adalah mekanisme darurat demi penyesuaian sistem. Ini bukan pelanggaran, tapi bentuk adaptasi,” kata Bivitri.
Menurutnya, jika DPR menolak menindaklanjuti putusan ini, maka integritas lembaga peradilan konstitusi akan rusak. MK bisa dianggap tak lagi punya kewibawaan, dan hal ini berpotensi membuka preseden buruk dalam sistem hukum Indonesia.
