Mirisnya, di tengah polemik yang makin berisik, belum ada regulasi formal yang bisa menjawab pertanyaan paling mendasar: seberapa desibel yang masih dianggap bermoral?
Beberapa akademisi bahkan sempat mengusulkan agar sound horeg didaftarkan ke Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), karena sudah jadi bagian dari budaya pop lokal. Usulan ini menandai babak baru: dari pentas jalanan ke potensi legal branding—asal tidak dijerat lebih dulu oleh perda larangan.
Kini masyarakat menunggu: akankah pemerintah bisa menyeimbangkan antara hak berekspresi dan hak untuk tidur nyenyak? Atau justru Jawa Timur akan jadi provinsi pertama yang mengatur frekuensi suara, sebelum mengatur frekuensi debat wakil rakyat di ruang sidang?
Satu hal yang pasti: suara rakyat memang suara Tuhan, tapi bila pakai sound horeg, mungkin Tuhan pun minta dikecilkan volumenya. (Bhegin)
