“Ada kemungkinan datanya disalahgunakan, atau dijual untuk bikin akun judi,” ujarnya, seakan menyadari bahwa di negara ini, identitas bisa lebih murah dari pulsa.
Ia juga menyentil lemahnya perlindungan data pribadi. Jika NIK bisa digunakan siapa saja untuk ‘bermain’, maka sistem keamanan digital kita rupanya tak lebih dari pagar bambu.
“Perlindungan data pribadi itu hak dasar warga. Kalau masih bocor begini, jangan salahkan rakyat main curang,” katanya.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul pun tampak kalang kabut. Ia mengaku kaget, meski tak sepenuhnya heran.
“Kami akan dalami, diskusi dengan PPATK. Kalau terbukti bansosnya dipakai buat judi, ya kita coret,” ucapnya, sambil menjanjikan penyaluran bansos berikutnya akan lebih selektif—meskipun data yang dipakai masih bocor ke mana-mana.
Ia menambahkan bahwa data tersebut baru berasal dari tahun 2024 dan satu bank saja.
“Jadi ini semacam spoiler dari babak pertama. Babak selanjutnya mungkin lebih dramatis,” kelakarnya tak resmi.
Dengan kondisi ini, publik mulai bertanya: apakah bansos masih menjadi solusi pengentasan kemiskinan atau malah alat perputaran uang di dunia hitam digital? Ketika rakyat kecil bersaing di meja judi karena kehilangan harapan pada meja makan, maka reformasi sosial bukan lagi soal distribusi bantuan—tapi soal mental dan sistem negara yang ikut ‘bermain’.
Sementara itu, para stakeholder disarankan menyiapkan strategi baru: bukan hanya soal validasi NIK, tapi juga penyelidikan atas siapa sebenarnya yang menikmati jackpot dari celah bantuan negara. Karena nyatanya, di republik ini, bansos bisa berubah fungsi—dari penyangga kehidupan menjadi tiket undian untuk masuk daftar hitam. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”