“Insya Allah kami siap. Ini bukan sekadar silat, ini diplomasi kaki dan tangan,” ujarnya.
Di sisi lain, anak didik Cecep, Dimas Tresna, menjabarkan filosofi acara dengan keyakinan,
“Kita ajak tamu asing untuk berwisata, berlatih, dan pentas. Kalau tidak kuat silatnya, minimal bisa selfie pakai ikat kepala,” tuturnya.
Dari balik meja kementerian, Sri Wahyuni selaku Deputi Pembudayaan Olahraga menilai acara ini sebagai peluang emas membungkus nasionalisme dalam balutan seni bela diri. “Ini bukan hanya mengasah teknik, tapi juga membudayakan silat sebagai simbol kekuatan bangsa. Bonusnya, anak muda bisa bergerak, meski belum tentu paham arah.”
KISC 2025 seolah jadi panggung alternatif ketika panggung prestasi sedang sunyi. Di tengah minimnya fasilitas dan pembinaan, silat kini bukan lagi sekadar olahraga — tapi alat propaganda lunak yang dijual manis dengan bumbu budaya. Bangsa belum tentu siap bertarung di ring dunia, tapi setidaknya kita bisa tetap menari di gelanggang diplomasi. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”