LOCUSONLINE, CILACAP – Di tengah derasnya gelombang konten viral, tarian challenge ala Korea, hingga tren digital tak berujung, seorang warga bernama Widodo, dari Kampung Cihandiwung, Desa Adimulya, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap, menolak tunduk pada zaman. Ia memilih melawan—bukan dengan gadget atau jargon modernisasi, tetapi lewat jaran kepang, atau yang lebih dikenal sebagai Kuda Lumping. Kamis, 17 Juli 2025
Dalam dunia yang menggilai teknologi dan instan, Widodo justru menggandeng Gen Z dan bahkan Generasi Alfa untuk kembali menyentuh tanah tradisi. Dengan semangat warisan leluhur, ia merawat seni Kuda Lumping yang sarat unsur magis, atraksi ekstrem, dan jiwa keprajuritan.
“Saya ingin anak cucu tidak hanya tahu cara swipe layar, tapi juga bagaimana cara menyuarakan tanah, budaya, dan semangat leluhur lewat gerak,” ujar Widodo, saat ditemui usai latihan rutin kelompok seninya.
Tarian Kuda Lumping sendiri bukanlah hiburan ringan. Dibalik irama gamelan yang rancak dan gerakan prajurit menunggang kuda anyaman bambu, tersimpan nilai spiritual, kedisiplinan, dan keberanian. Bahkan beberapa penari dalam pertunjukan kerap mengalami kesurupan—sebuah bagian tak terpisahkan dari ritual seni ini. Namun, di tangan Widodo, tarian ini tak lagi semata tontonan magis. Ia menyuntikkan pendekatan edukatif, menyeimbangkan antara adat dan akal sehat, antara atraksi dan estetika.
“Kesurupan boleh, asal tetap sadar budaya,” candanya sambil tertawa.
Menggandeng para remaja, bahkan anak-anak usia SD, Widodo menyulap kediamannya menjadi panggung ekspresi warisan budaya. Ia sadar, mempertahankan kesenian seperti Kuda Lumping bukan hanya soal pertunjukan—tapi perlawanan terhadap kepunahan tradisi.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”