Ironisnya, perhatian dari pemerintah dan institusi kebudayaan justru sering absen, atau sekadar basa-basi saat Hari Kebudayaan Nasional tiba. Sementara itu, generasi muda dibiarkan tumbuh dalam algoritma yang tak mengenal gamelan, apalagi bambu berbentuk kuda.
“Biarpun dunia sudah 5G, asal budaya jangan 404 Not Found,” ujar Widodo sinis, menanggapi minimnya dukungan struktural terhadap pelestarian seni lokal.
Ia menekankan bahwa pelestarian seni tradisional bukan hanya tentang melestarikan pertunjukan—melainkan tentang membangun jembatan antargenerasi, menghidupkan identitas lokal, dan menyisipkan rasa bangga pada setiap langkah tarian anak-anak bangsa.
Kini, kelompok Kuda Lumping binaan Widodo mulai rutin tampil di berbagai acara desa, hajatan rakyat, hingga event sekolah. Tak sedikit Gen Z yang dulu asing dengan gamelan, kini justru piawai memainkan kendang dan menari gagah dengan kuda kepang.
“Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, ya nanti tinggal kenangan,” pungkas Widodo.
Di balik setiap hentakan kaki para penari kecil itu, terselip harapan: agar jati diri budaya tak tinggal jadi arsip museum atau konten nostalgia. Widodo dan para generasi baru penunggang kuda anyaman ini, tak hanya menari di atas tanah—tapi juga di atas sejarah yang mereka perjuangkan agar tetap hidup.(red01)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”