Ironisnya, dalam tuntutan jaksa yang menuntut Tom tujuh tahun penjara, sikap “tidak menyesal dan merasa tak bersalah” justru dijadikan alasan pemberat. Tom sendiri menyebut tuntutan jaksa sebagai tak berdasar dan tidak mencerminkan fakta persidangan.
Baca Juga : Nyawa Berjenjang, Keadilan Bertarif: Tewasnya Diplomat Diusut Kilat, Kematian Guru Dibilang Tamat Sendiri
Dramaturgi Penghalang Keadilan
Kasus ini juga melibatkan drama tambahan: dugaan upaya perintangan penyidikan alias obstruction of justice. Tiga tersangka baru ditetapkan—dua pengacara dan satu direktur televisi swasta—yang diduga merekayasa opini publik demi menggiring narasi tandingan.
Bahkan, istri Tom ikut diperiksa karena ditemukan komunikasi dengan salah satu tersangka. Tom meminta agar keluarganya tak diseret, cukup dirinya saja yang bertanggung jawab atas “perintah yang dilaksanakan”.
Gula, Politik, dan Moral yang Tergerus
Dari seluruh episode ini, publik disuguhi satu pelajaran: kebijakan publik bisa berujung vonis, tapi asal tak menikmati uangnya, bisa dianggap “ringan”. Dan jika sudah menyebut nama presiden, bisa jadi tameng pengalihan tanggung jawab.
Sementara rakyat hanya bisa menyaksikan, bagaimana “gula-gula hukum” dibagikan selektif: keras pada kecil, ringan pada elit. Gula impor manis di meja kongkalikong, tapi pahit di neraca negara.
Karena di republik ini, kadang korupsi bukan soal memperkaya diri — tapi soal siapa yang menandatangani dan siapa yang disalahkan. (Bhegin)
