Namun skeptisisme pun meluas. Menyerahkan kembali kendali kepada Pertamina dianggap seperti menyerahkan ladang emas ke tangan yang sudah terlalu sering terciduk oleh KPK. Banyak kalangan justru ingin lembaga baru yang berdiri di bawah kendali presiden, bukan korporasi, agar tata kelola migas tak lagi jadi arena bancakan elite.
Baca Juga : Guru Asal Garut Tewas Misterius, Polisi ‘Percaya Diri’ Tanpa Bukti: Dari Rel ke Rapat DPR
Ketidakjelasan status regulator berimbas langsung ke lapangan. Investor ogah menanam modal karena regulasinya serba sumir. Produksi migas menurun, perizinan ruwet, insentif tak menentu, dan sistem bagi hasil masih pakai formula kuno. Di sisi lain, harga minyak dan gas dunia justru naik tajam—tapi Indonesia tak ikut menikmati hasilnya.
Revisi UU Migas adalah drama panjang tanpa akhir. Parlemen memperlakukannya seperti tambang tua: ditambal, ditunda, lalu ditinggalkan. SKK Migas terus berjalan di atas papan hukum yang rapuh, sementara industri migas nasional terseok seperti rig tua kehabisan solar.
Mungkin inilah ironi legislasi paling tajam: undang-undang yang seharusnya menyuntik kepastian, justru menjadi sumber stagnasi. Migas kita bukan hanya terkuras, tapi juga terombang-ambing dalam permainan politik tanpa niat menyelesaikan.
Dan seperti biasa, rakyat hanya bisa menonton… sambil menunggu giliran krisis berikutnya meledak. (Bhegin)
