LOCUSONLINE, GARUT – Di balik sorak-sorai dan gegap gempita pernikahan mewah dua dinasti kekuasaan, Pendopo berubah jadi panggung duka. Tiga nyawa rakyat tercabut—satu di antaranya anggota polisi yang gugur saat berusaha menyelamatkan anak kecil dari kegilaan kerumunan. Di tengah glamornya pesta, kematian seolah jadi harga diskon demi pencitraan. Selasa, 22 Juli 2025
Foto-foto bahagia berseliweran di media sosial. Senyum para pejabat membanjiri linimasa. Tapi di luar frame kamera, tubuh rakyat terkapar. Darah mereka tak sempat terekam, hanya dijawab dengan ucapan normatif dan doa digital.
Peristiwa tersebut mendapat sorotan tajam dari Tokoh Garut Utara Holil Aksan Umarzen, dalam pernyatannya ia mengungkapkan ketika maut datang di tengah nasi kotak dan karpet merah, yang pertama dilempar ke kolam kesalahan adalah Event Organizer. Lalu publik bertanya:
“Apakah EO bisa bikin pesta sendiri tanpa persetujuan tuan rumah? Siapa yang menyulut pesta rakyat tanpa menghitung risiko? Dan siapa yang berdiri paling depan saat tepuk tangan, tapi bersembunyi saat tangisan menggema?” ujarnya penuh tanya besar.
Lebih lanjut Holil mengatakan, jawabannya jelas: bukan EO, tapi ego. Bukan panitia, tapi mereka yang haus pujian di atas penderitaan rakyat. Hingga kini, tak ada kepala yang tunduk meminta maaf.
“Tak ada jabatan yang rela mundur. Hanya ucapan “kami prihatin”, “kami evaluasi”, dan “kami akan selidiki”—mantra sakti dalam kamus pejabat tak tersentuh.” ucapnya.
Baca Juga : Dibayar, Bukan Disumbang: Klarifikasi Mewah dari Pendopo, Saat Rakyat Tumbang
Tragedi ini bukan sekadar salah kelola. Ini bukti bahwa kekuasaan lebih sibuk mendandani panggung daripada mengamankan penontonnya. Mereka undang rakyat seolah sebagai tamu kehormatan, padahal yang dicari cuma latar meriah untuk pencitraan murahan.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”