“Dalam acara yang disebut “makan gratis”, yang benar-benar gratis adalah nyawa rakyat—dibayar lunas dengan kelalaian struktural,” tegas Holil.
Pesta ini tak lahir dari EO, tapi dari sistem yang membungkam kritik dan menukar keselamatan dengan popularitas. Maka pertanggungjawaban tidak bisa berhenti di vendor, tapi harus menembus meja perencana, pemberi izin, hingga tuan pesta itu sendiri.
“Sebab keadilan bukan hanya soal hukum yang kaku, tapi soal nurani yang hidup. Bila hukum tak mampu menembus gedung pendopo, suara rakyat akan masuk lewat celah-celah logika dan memukul meja kekuasaan dengan tuntutan moral,” paparnya.
Garut bukan panggung sandiwara. Ia tanah perjuangan, bukan ladang pencitraan. Jika tragedi ini hanya ditutup dengan doa dan foto kilas balik, maka jangan salahkan rakyat jika suatu saat mereka tak lagi datang sebagai tamu—melainkan sebagai penggugat
“Ketika pesta dinikmati elite, tapi liang kubur digali rakyat, saat itulah kita tahu siapa yang berpesta, dan siapa yang dikorbankan,” pungkasnya. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”