“Ini harus jadi rutinitas,” ujarnya, sambil menekankan bahwa penyuluhan kepada guru PAUD tidak cukup dilakukan sekali. Barangkali karena mereka kini diharapkan bisa mengidentifikasi bayi stunting dan menyuluh orang tua tanpa pelatihan medis.
Lebih jauh lagi, Patimah menyinggung akar persoalan stunting: gizi buruk yang dimulai sejak remaja. Sayangnya, jawaban atas masalah struktural ini tak beranjak dari pola pikir lama: beri pemahaman, sampaikan pesan, lalu berharap perubahan datang.
Baca Juga : Hari Anak Nasional: Panggung Retorika di Atas Tubuh Ringkih Generasi Emas
Hari Anak Nasional: Parade Seremoni di Atas Luka Seribu Bocah
Lalu muncullah dr. Tri Cahyo Nugroho dari Dinas Kesehatan Garut dengan daftar panjang resep pencegahan stunting. Dari konsumsi tablet tambah darah, pola makan seimbang, ASI eksklusif, imunisasi, vitamin A, sampai obat cacing semuanya dijelaskan kepada guru-guru PAUD yang, mungkin saja, baru mendengar istilah “lokus stunting” di pertemuan ini.
“Ibu-ibu yang anaknya PAUD, biasanya juga punya balita atau sedang hamil,” terang dr. Tri. Logika ini dijadikan landasan bahwa guru PAUD perlu diberi tugas baru: edukator gizi, penyuluh kesehatan, bahkan semacam kader posyandu versi lembaga pendidikan.
Harapannya sederhana namun berat: guru-guru PAUD yang hadir di aula hari itu bisa “menyampaikan kembali” semua materi ke masyarakat. Seolah-olah problem stunting bisa selesai jika saja semua guru PAUD hafal kandungan gizi makanan pokok.
Sekilas, strategi ini tampak inovatif. Tapi jika dicermati lebih dalam, ini adalah pola lama dalam wajah baru: melempar beban struktural ke pundak pekerja akar rumput, tanpa memperkuat infrastruktur pendukungnya. Lagi-lagi, edukasi dijadikan senjata utama melawan kemiskinan dan ketimpangan akses gizi seolah-olah stunting hanya soal pengetahuan, bukan soal perut yang kosong dan harga pangan yang melonjak.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”