“Dari seluruh pekerja konstruksi yang telah dikontrak, belum mencapai 10% terlindungi dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan,” ungkapnya.
Tampaknya, keselamatan kerja belum cukup seksi untuk dimasukkan dalam prioritas proyek yang sering kali lebih mementingkan progres fisik ketimbang nyawa di balik cet beton.
Baca Juga : Bupati Garut Curhat PDRB Kering, Wacana Mengalir: Rakyat Disuruh Pandai Cuma Modal Ilusi
Tak hanya itu, kegiatan ini juga menjadi panggung untuk mengingatkan bahwa Surat Edaran dan Surat BPKAD telah dibuat. Seolah tumpukan kertas bisa menahan jatuhnya scaffolding atau menyelamatkan pekerja yang terpeleset dari lantai tiga.
Program SMKK ini pun diperkenalkan kembali dengan semangat tinggi: meningkatkan pemahaman, mendorong kepesertaan BPJS, dan memperkenalkan mekanisme penjaminan proyek lewat PT Perindo dan Persero. Namun, tak ada pembahasan mendalam soal siapa yang bertanggung jawab ketika pekerja tanpa perlindungan menjadi korban.
Di tengah semua ini, satu pertanyaan mencuat dan menggema di benak publik: jika pemerintah sungguh serius soal keselamatan konstruksi, mengapa nyawa pekerja masih menjadi bahan bangunan yang paling mudah digadaikan?
Karena di negeri proyek, kadang yang dibangun bukan hanya jalan dan gedung tapi juga narasi indah yang menutupi fondasi retak bernama ketidakpedulian. (Suradi/Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”