Baca Juga : Pelajaran Terakhir dari SMAN 6 Garut: Saat Nyawa Remaja Lebih Ringan dari Rapor Sekolah
Dalam acara yang dibungkus dengan pembacaan Al-Qur’an, tahlil, dan ceramah keagamaan, para hadirin tampak khusyuk. Tapi di balik itu, tak sedikit yang bertanya-tanya: Apakah keteladanan harus terus dihidangkan sebagai tontonan tahunan, sementara umat belum diberi ruang untuk meneladani kehidupan nyata?
Pengajian, zikir, dan silaturahmi antar alumni memang berlangsung. Namun, substansi tentang “pembinaan umat” kembali terganjal oleh absennya roadmap pembangunan pendidikan Islam yang membumi, tidak sekadar bergantung pada amplop haul atau proposal hibah tahunan.
KH. Wildan Hilmi Banani, perwakilan keluarga besar pendiri pesantren, menyampaikan terima kasih kepada pemerintah dan ulama yang hadir. Doa pun dipanjatkan agar kehadiran mereka menjadi amal ibadah. Namun, yang tidak terucap adalah harapan agar pondok pesantren tidak hanya dikunjungi saat haul, tapi juga saat butuh penguatan fasilitas, kurikulum, dan kesejahteraan ustaz.
“Saya ucapkan terima kasih dan selamat datang, semoga kedatangan rekan-rekan semuanya menjadi amal ibadah dan mendapat ganjaran oleh Allah SWT,” ungkap KH. Wildan Hilmi Banani, mengakhiri sambutannya.
Sementara itu, para pejabat hadir dengan tampilan religius penuh senyum, tanpa membawa satu pun naskah perencanaan konkret. Karena haul, bagi sebagian birokrat, adalah panggung spiritual dengan bonus pencitraan yang ramah publik. (Suradi)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”