"Garut memang belum mampu, tapi bukan berarti warganya bodoh. Dana belasan miliar tetaplah dana publik, bukan dompet kolektif pengurus pensiun. Dan ketika organisasi ASN terbesar justru dikelola dengan cara “asal nyantol jabatan”, mungkin sudah waktunya Korpri Garut ganti nama: Koalisi Oportunis Pejabat Republik Indonesia"
LOCUSONLINE, GARUT — Korpri Kabupaten Garut tampaknya lebih layak disebut Koperasi Pegawai Republik Indonesia daripada Korps. Pasalnya, organisasi yang semestinya jadi rumah besar abdi negara justru makin mirip warung gotong-royong para pejabat, dengan iuran ASN sebagai bahan bakarnya dan kepentingan pribadi sebagai menunya. Jumat, 25 Juli 2025
Dipimpin oleh Drs. H. Didit Fajar Putradi, M.Si yang tak puas hanya menjadi Kepala Bappeda, tapi juga bertahan sebagai Ketua Korpri sejak 2016 meski masa bakti sudah expired sejak 2021 organisasi ini kini menuai sorotan. Bukan karena prestasi, tapi karena obesitas struktural dan malnutrisi program.
Betapa tidak, struktur kepengurusan yang digadang “partisipatif” ternyata lebih tepat disebut “penampungan jabatan cadangan.” Hampir semua SKPD diakomodasi, dari eselon II hingga eselon IV, agar tak ada pejabat yang merasa ditinggalkan. Sebuah barisan meriah tanpa arah, dengan program yang lebih banyak bersifat simbolik ketimbang strategis.
Menurut beberapa elemen masyarakat Garut, pengurus Korpri lebih sibuk menumpuk gelar dan posisi ketimbang menjalankan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Buktinya:
- Musda yang mandek sejak 2021 membuat kepemimpinan ibarat zombie organisasi—masih berjalan, tapi tanpa jiwa dan legalitas.
- Pengurus pensiun berjamaah, namun struktur tetap dibiarkan tak berubah, seolah-olah jabatan di Korpri diwariskan lewat silsilah.
- Program? Jangan harap. Selain santunan pensiun yang sudah jadi rutinitas seremonial, tak ada jejak inovasi yang mampu meningkatkan martabat ASN, apalagi menyentuh masyarakat.
- Transparansi keuangan? Istilah itu sepertinya belum masuk kamus Korpri Garut. Puluhan miliar dari iuran ASN masih dalam status ‘disinyalir’, bukan ‘dipertanggungjawabkan’.
Baca Juga : Program SMKK dan BPJS Ketenagakerjaan: Ketika Keselamatan Kerja Hanya Sebatas Seremonial
Menurut Ridwan Kurniawan, Sekretaris GLMPK (Gerbang Literasi Masyarakat Perjuangkan Keadilan), aroma tidak sedap ini sudah lama menguar. Ia menyebut iuran ASN yang dipotong secara payroll sebesar Rp10.000 per bulan, dikalikan sekitar 20.000 ASN selama 8 tahun, menghasilkan angka nyaris Rp19,2 miliar dan itu belum termasuk ‘pemasukan tak resmi’ seperti donasi temporer.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”