“Alih-alih menjadi wadah profesionalisme, Korpri justru menjelma menjadi ajang bancakan. Ada dugaan dana dipinjam seenaknya oleh pejabat eselon II, sementara sebagian pengurusnya sudah pensiun namun masih dicantumkan dalam struktur, entah untuk kenang-kenangan atau legalitas palsu,” ujar Ridwan.
Ia pun mendesak Bupati Garut untuk segera membuka mata dan telinga, bukan sekadar menjadi penasihat simbolik. Jika perlu, audit forensik harus dilakukan oleh inspektorat atau auditor independen, sebelum sisa-sisa uang iuran raib seperti angin lewat jendela.
Sementara itu, sang ketua nonaktif yang masih aktif, Didit Fajar Putradi, tak menampik adanya iuran, namun buru-buru meralat jumlahnya. Menurutnya, “hanya” Rp1.000 – Rp4.000, tergantung golongan. Adapun iuran Rp10.000 disebut sebagai “program kadeudeuh sukarela”, alias sumbangan suka-suka walau pemotongannya dilakukan dengan sistem payroll yang tidak bisa ditolak.
“Kalau di kota-kota besar, iuran ASN bisa sampai ratusan ribu untuk modal usaha. Kita mah belum sampai ke situ,” ujar Didit dengan nada rendah hati, seolah membandingkan Garut dengan Jakarta dalam hal urusan pungutan. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”