Baca Juga : Siwa SMA di Garut Gantung Diri atau Gantung Jawaban? Ketika Pelajar Mati, Sekolah Sibuk Cuci Tangan
Sayangnya, normal di Jakarta belum tentu sama dengan “normal” di Cilacap. Hingga kini, kasus Dindin justru berjalan seperti prosesi penguburan: pelan, sepi, dan nyaris dilupakan. Tak ada laporan teknis, tak ada rilis perkembangan, apalagi rekaman CCTV. Yang ada hanyalah duka dan dugaan. Mungkin karena Dindin bukan diplomat. Mungkin karena ia hanya guru. Atau mungkin karena ia mati di tempat yang tak dianggap strategis.
Publik dijanjikan keterbukaan dalam kasus Menteng. Setiap minggu, ada update: dari rekaman CCTV rooftop, saksi rekan kerja, hingga studi mikro ekspresi korban sebelum ajal. Tapi untuk Dindin? Bahkan nama kasusnya saja nyaris tak disebut dalam jumpa pers.
Apa sebenarnya yang membedakan dua kematian ini? Satu di pusat kekuasaan, satu di pinggiran republik. Satu diselidiki dengan alat ilmiah, satu dibekap diam ilmiah. Padahal, baik diplomat maupun guru, keduanya punya hak yang sama untuk meninggal dengan alasan yang jelas.
Plastik dan lakban yang melilit wajah diplomat di Menteng adalah metafora yang sempurna: begitulah negara membungkus kenyataan rapat, senyap, dan berusaha tak terlihat. Dan Dindin? Ia bukan hanya dibungkam, tapi dikubur dua kali pertama secara jasad, kedua secara keadilan.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”