RUU KUHAP kali ini mengukuhkan advokat sebagai penegak hukum. Tentu sebuah langkah maju di tengah kenyataan bahwa di lapangan, advokat sering dianggap seperti pengganggu upaya aparat menyelesaikan kasus dengan cepat, ringkas, dan kadang tanpa perlu proses.
Baca Juga : Pemprov Jabar Pastikan Data Aman, Meski Hacker Sudah Ngaku dan Ngopi di Dark Web
Lebih jauh, RUU ini juga ingin melindungi kelompok rentan: perempuan, anak, bahkan mereka yang hanya tahu hukum dari acara televisi. Tujuannya mulia, tentu. Tapi seperti biasa, pertanyaan yang menggantung bukan pada niat, melainkan pada eksekusi, integritas, dan anggaran.
Konon, dengan sistem hukum yang baik, investor akan berdatangan, negara akan makmur, dan rakyat akan percaya pada keadilan. Tapi selama surat tilang masih bisa dinego, dan dakwaan bisa dikoreksi oleh kekuasaan, hukum kita masih seperti drama bersambung yang penontonnya tahu akhir ceritanya: kompromi.
Dengan segala kemasan modernisasi hukum, kita kembali pada pertanyaan klasik: ketika rakyat berhadapan dengan negara, siapa yang akan melindungi mereka? KUHAP menjanjikan advokat. Tapi rakyat tahu, kadang hukum hanya berpihak pada mereka yang punya waktu, uang, dan kenalan di lembaga.
Kini, dengan semangat legal culture dan mimpi hukum berbudaya, kita diajak menyambut era baru. Tapi selama hukum masih bisa dibeli, dikebiri, atau dikejar sesuai pesanan, maka RUU KUHAP hanyalah revisi terbaru dari naskah lama: reformasi yang tak pernah rampung.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”