“Tiga provinsi Jawa mendominasi, membuktikan bahwa pusat pertumbuhan juga bisa menjadi pusat penderitaan, jika pertumbuhan itu hanya berhenti di statistik”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Jika pertumbuhan ekonomi diukur dari gedung pencakar langit, jalan tol, dan pusat perbelanjaan mewah, maka Pulau Jawa patut diarak sebagai simbol kemajuan bangsa. Sayangnya, realitas yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 justru memperlihatkan sisi lain. Selasa, 29 Juli 2025
Dari balik gemerlap beton dan WiFi gratis di alun-alun kota, Jawa masih menyimpan mayoritas penduduk miskin Indonesia sebanyak 12,56 juta jiwa. Iya, lebih dari separuh total penduduk miskin nasional yang berjumlah 23,85 juta orang tinggal di pusat kekuasaan dan ekonomi republik ini.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, tampaknya juga kehabisan kata untuk menutupi ironi ini. Dalam konferensi pers, Jumat (25/7), ia menyampaikan bahwa meskipun Pulau Jawa adalah pusat aktivitas ekonomi nasional, kenyataannya angka kemiskinan absolutnya justru tertinggi. Mungkin karena terlalu sibuk membangun jembatan langit dan bandara internasional, distribusi kesejahteraan dan akses layanan dasar tersesat di lorong birokrasi.
“Jumlah penduduk miskin masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Atau kontribusinya sekitar 52,66 persen terhadap total nasional,” ujar Ateng dengan nada yang terdengar lebih seperti peringatan daripada laporan. Dengan kata lain, pembangunan terus maju asal tidak ditanya siapa yang ikut naik.
Baca Juga : BPS Jabar Rilis Kemiskinan Turun, Pengangguran Naik: Wajah Ganda Jawa Barat
Rp20 Ribu Sehari? Kemiskinan Versi BPS Mungkin Cocok untuk Zaman Pager dan Warteg Lama
Rp 20 Ribu Sehari, Bebas Miskin Ala BPS: Makan, Minum, Hidup, Tertawa
Tentu saja, BPS tetap membawa kabar “baik”. Tingkat kemiskinan nasional menurun tipis dari 8,57 persen (September 2024) menjadi 8,47 persen (Maret 2025). Sebanyak 200 ribu orang dinyatakan “naik kelas” dari miskin menjadi… ya, mungkin hampir tidak miskin. Penurunan yang bisa dibanggakan di panggung politik, meski tak banyak berdampak pada antrean panjang bantuan sosial dan warung makan yang tutup.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”