“Kalau anak-anak sudah diganggu oleh asap rokok dari awal, maka masa depan mereka bisa rusak,” katanya, seraya menyindir para guru dan orang tua yang masih merokok.
Pernyataan ini tentu tepat. Namun pertanyaannya, apakah pemerintah daerah sudah menindak tegas sekolah atau guru yang melanggar? Atau ini hanya sebatas himbauan yang berakhir di baliho dan spanduk “Sekolah Zona Tanpa Rokok”?
Kesehatan anak bukan hanya urusan cek Hb dan tinggi badan. Anak-anak juga hidup di lingkungan yang tercemar polusi udara, air tidak layak minum, makanan jajanan tidak higienis, dan minimnya ruang bermain yang aman.
Selama pemerintah belum berani menertibkan industri pencemar, menindak warung rokok yang menjamur dekat sekolah, serta memastikan sanitasi sekolah layak, maka CKG hanya menjadi tambal sulam di kulit atas persoalan yang lebih dalam.
Di penghujung acara, Bupati menyampaikan apresiasi kepada Muhammadiyah atas kontribusinya dalam dunia pendidikan, terutama di daerah-daerah yang dulu “belum dijamah negara”. Sebuah pengakuan yang jujur, sekaligus ironi bahwa negara baru datang setelah Muhammadiyah bekerja duluan.
Namun sayangnya, tidak ada evaluasi kritis tentang kondisi pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Apakah anak-anak di pelosok juga mendapat akses yang sama? Atau program seperti CKG ini hanya menyentuh sekolah tertentu yang dianggap “representatif” untuk diliput?(Suradi)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”