Baca Juga : Dari Korupsi ke Kursi Tersangka: Warga Garut Ditodong ! Kejari
Karena terlapor adalah jaksa aktif di bidang tindak pidana khusus, Asep menilai pasal yang digunakan dapat diperluas ke Pasal 242 ayat (3) KUHP, yang memungkinkan pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 poin 1–4 KUHP.
Asep menjelaskan, unsur objektif pasal ini mencakup kewajiban memberi keterangan di bawah sumpah, adanya keterangan palsu secara lisan atau tertulis, serta unsur subjektif berupa kesengajaan atau mens rea.
Ia mengaku percaya polisi akan bekerja profesional. Menurutnya, ini pertama kalinya di Garut ada warga yang dianggap memberi keterangan palsu di bawah sumpah lalu dilaporkan kejaksaan ke polisi.
“Nah, kami juga melaporkan jaksa yang bersaksi dan memberi keterangan palsu di persidangan. Bukan hanya kejaksaan yang bisa melapor, masyarakat pun punya hak meminta keadilan,” tegasnya.
Asep meminta agar proses penanganan laporan dilakukan transparan dan tidak berlindung di balik aturan izin tertulis dari Jaksa Agung untuk memeriksa jaksa. Ia berharap kasus ini diproses bersamaan dengan laporan kejaksaan demi membuka kebenaran.
Terkait kasus dugaan korupsi BOP dan reses DPRD Garut periode 2014–2019, Asep mengungkapkan perbedaan data antara pernyataan mantan Kajari Garut, Neva Sari Susanti, yang menyebut kerugian mencapai Rp1,2 miliar, dan keterangan jaksa di praperadilan yang menyebut angka Rp40 miliar untuk BOP dan Rp180 miliar untuk pokir.
“Dari dua keterangan itu, mana yang benar? SP3 ini membuat masyarakat curiga. Seharusnya kejaksaan memberi penjelasan terbuka, bukan malah menyerang masyarakat yang kritis dengan kekuasaan,” pungkasnya.(Asep Ahmad)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














