Kasus ini mengacu pada dugaan tindak pidana:
- Alih fungsi LP2B tanpa izin sah
- Tidak mengembalikan lahan ke kondisi semula sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 ayat (1), Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, serta Pasal 74 ayat (1) UU No. 41 Tahun 2009 jo. UU No. 6 Tahun 2023.
Asep Muhidin mengaku telah berjuang sejak dua tahun lalu untuk menyelamatkan lahan pertanian produktif tersebut. Ia menegaskan, status LP2B semestinya tidak boleh dialihfungsikan menjadi kawasan industri.
“Saya mempertahankan ini bukan hanya soal hukum, tapi soal masa depan pangan. Anehnya, Pemkab Garut justru mengeluarkan izin bagi perusahaan. Pejabat yang memberikan izin ini harus ikut bertanggung jawab dan ditetapkan sebagai tersangka,” kata Asep, Rabu (13/8/2025).
Ia menilai kasus ini menjadi preseden penting bagi penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan perlindungan lahan pangan berkelanjutan. Menurutnya, alih fungsi tersebut tidak hanya merusak ekosistem dan mengurangi lahan produktif, tetapi juga mengancam ketahanan pangan daerah.
UU No. 41 Tahun 2009 menyebutkan LP2B adalah lahan pertanian yang dilindungi secara berkelanjutan. Pengalihfungsian hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu dengan prosedur ketat, termasuk analisis dampak lingkungan (Amdal) dan persetujuan pemerintah pusat.
Jika terbukti melanggar, pelaku dapat dikenai sanksi pidana dan denda. Dalam sejumlah kasus di Indonesia, pelanggaran LP2B bahkan menyeret pihak pemberi izin ke ranah hukum.
Publik kini menanti langkah Polres Garut untuk menindak tidak hanya pihak korporasi, tetapi juga oknum pejabat yang menerbitkan izin diduga melanggar hukum.
“Ini momentum pembuktian bahwa hukum berlaku sama untuk semua, tanpa pandang bulu,” ucap Asep.
Kasus ini diperkirakan menjadi sorotan masyarakat dan pegiat lingkungan, mengingat pentingnya perlindungan lahan pertanian di tengah gempuran industrialisasi.(red)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”