“Delapan dekade lepas dari penjajah, negeri ini berganti tuan tapi tetap saja rakyatnya buruh di tanah sendiri. Hanya benderanya yang merah putih, nasibnya masih hitam pekat”
LOCUSONLINE, GARUT – Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaan, tapi sebagian rakyat masih harus membayar “uang kontrak” untuk hidup di tanah kelahirannya. Dari pajak udara hingga air yang dikuasai swasta, nyaris semua unsur kehidupan sudah punya harga resmi kecuali janji-janji politik yang gratis diucapkan setiap musim pemilu. Kamis, 14 Agustus 2025
Bendera Merah Putih memang berkibar, tetapi dompet rakyat tetap kempes. Sementara itu, para pejabat dan pengusaha berfoto di podium peringatan kemerdekaan, berbicara tentang “kedaulatan ekonomi” dengan senyum selebar baliho kampanye, seakan lupa bahwa kue pembangunan mereka potong tanpa membagi piring untuk rakyat.
Baca Juga : Ekonomi Naik, Dompet Kering: Pemerintah Berhasil Meratakan Kesejahteraan ke Arah Minus
Menteri Ziarah, Sejarah Tertinggal: Ketika Warisan Budaya Jadi Sekadar Destinasi Foto
Data Index of Economic Freedom menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dunia, status “hampir bebas” yang jika diterjemahkan bebas berarti “masih diikat, tapi talinya agak longgar”. Persis seperti rakyat yang boleh bicara soal demokrasi, tapi harus diam saat tanahnya diambil untuk proyek strategis nasional.
Dalih “pertumbuhan ekonomi” jadi mantra sakti. Kenyataannya, petani kehilangan lahan karena kalah sertifikat dengan perusahaan, UMKM mati pelan-pelan di bawah beban izin dan pungutan, sementara anak muda diarahkan menjadi “wirausaha mandiri” sambil membayar pajak yang hasilnya menguap entah kemana mungkin ke surga fiskal di luar negeri.
Delapan puluh tahun setelah merdeka, kapal besar bernama Republik ini masih berlayar tanpa kompas yang jelas. Penumpangnya membayar tiket, awak kapalnya sibuk berdebat soal warna layar, dan kaptennya sering lupa tujuan. Tidak heran jika sebagian generasi muda mulai berpikir: mungkin lebih jelas jadi bajak laut setidaknya di sana, pembagian rampasan dilakukan secara adil.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”