Baca Juga : Polres Purwakarta Tangkap Pelaku Pembunuhan Dea Permata Kharisma
Suharti (55), warga sekaligus pedagang makanan di sekitar lokasi, ikut menyampaikan doa dan keprihatinan. “Zaman sekarang, orang bisa nekat hanya karena uang. Dulu pembantu itu teman curhat, sekarang malah jadi episode terakhir,” ujarnya getir. Sementara warga lain menyebut tindakan Ade sebagai “biadab”, “tak masuk akal”, dan “lebih mengerikan dari harga cabe rawit di musim paceklik”.
Ironisnya, pelaku adalah anak dari mantan ART yang dulu juga pernah bekerja pada keluarga korban. Rupanya, kepercayaan itu bukan diwariskan, tapi dikhianati.
Kini, Purwakarta tidak hanya mencatat tragedi ini sebagai berita kriminal, tapi juga sebagai pengingat betapa tipisnya batas antara kepercayaan dan kebodohan. Antara kebaikan hati dan kelengahan. Antara dimsum hangat yang dibagikan di bazar, dan palu dingin yang mengakhiri hidup seseorang.
Semoga ini bukan lagi jadi template kisah tragis berikutnya: di mana orang baik jadi korban, dan orang kepercayaan berubah jadi tokoh antagonis tanpa perlu audisi.(Laela)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”